Thursday, March 5, 2009

Kumpulan.info - Susu biasanya dikenal sebagai minuman penguat tulang dan gigi karena kandungan kalsium yang dimilikinya. Tetapi, sebenarnya ada banyak

Susu biasanya dikenal sebagai minuman penguat tulang dan gigi karena kandungan kalsium yang dimilikinya. Tetapi, sebenarnya ada banyak kandungan nutrisi yang ada, misalnya fosfor, zinc, vitamin A, vitamin D, vitamin B12, vitamin B2, asam amino dan asam pantotenat. Tentu kandungan nutrisi ini bermanfaat untuk menunjang kesehatan tubuh Anda.


Manfaat Susu

Karena memiliki kandungan nutrisi tersebut, maka susu memiliki manfaat yang tidak sedikit, diantaranya:

* Mencegah osteoporosis dan menjaga tulang tetap kuat. Bagi anak-anak, susu berfungsi untuk pertumbuhan tulang yang membuat anak menjadi bertambah tinggi.
* Menurunkan tekanan darah.
* Mencegah kerusakan gigi dan menjaga kesehatan mulut. Susu mampu mengurangi keasaman mulut, merangsang air liur, mengurangi plak dan mencegah gigi berlubang.
* Menetralisir racun seperti logam atau timah yang mungkin terkandung dalam makanan.
* Mencegah terjadinya kanker kolon atau kanker usus.
* Mencegah diabetes tipe 2.
* Mempercantik kulit, membuatnya lebih bersinar.
* Membantu agar lebih cepat tidur. Hal ini karena kandungan susu akan merangsang hormon melatonin yang akan membuat tubuh mengantuk.


Jenis Susu

Jenis-jenis susu yang tersedia di pasaran juga bermacam-macam. Ada istilah-istilah yang dikatakan sebagai zat yang terkandung dalam susu yang mungkin belum Anda ketahui. Beberapa istilah tersebut yaitu:

*
Full cream
Mengandung 4% lemak dan umumnya banyak mengandung vitamin A dan vitamin D.
*
Low fat
Susu rendah lemak, karena kandungan lemaknya hanya setengah dari susu full cream.
*
Skim
Susu yang kandungan lemaknya lebih sedikit lagi, kurang dari 1%.
*
Susu evaporasi
Yaitu susu yang telah diupkan sebagian airnya sehingga menjadi kental. Mirip dengan susu kental manis, tetepi susu jenis ini rasanya tawar.
*
Susu pasteur
Susu yang melalui proses pasteurisais (dipanaskan) 65° sampai 80° C selama 15 detik untuk membunuh bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit.
*
Flavoured
Sebenarnya susu full cream atau low fat yang ditambahkan rasa tertentu untuk variasi. Misalnya susu coklat, strawberry, pisang, dan rasa lainnya. Umumnya memiliki kandungan gula yang lebih banyak karena penambahan rasa ini.
*
Calcium enriched
Susu yang ditambah dengan kandungan kalsium dan kandungan lemaknya telah dikurangi.
*
UHT
Merupakan singkatan dari Ultra-High Temperature-Treated. Susu jenis ini adalah susu yang dipanaskan dalam suhu tinggi (140° C) selama 2 detik yang kemudian langsung dimasukkan dalam karton kedap udara. Susu ini dapat disimpan untuk waktu yang lama.
*
CLA
Susu ini bermanfaat bagi orang yang ingin merampingkan tubuh. Kepanjangan dari CLA adalah Conjugated Linoleic Acid yang akan membantu dalam pembentukan otot dan mempercepat pembakaran lemak.


Mengapa Minum Susu?

Walaupun memiliki banyak manfaat, tetapi banyak orang yang enggan minum susu. Ini terlihat dari minimnya konsumsi susu masyarakat Indonesia per tahunnya. Salah satu alasan yang sering dikemukan adalah mahalnya harga susu. Untuk harga susu, sebenarnya ada banyak susu yang harganya telah disesuaikan. Dan mengingat banyak nutrisi yang dikandungnya, maka yang diperlukan adalah menanamkan kesadaran akan manfaat susu agar masyarakat dapat mengkonsumsi dan tidak menganggapnya sebagai barang mahal.

Alasan lainnya adalah tidak suka minum susu karena membuat mual atau sakit perut sehabis minum susu. Bila Anda merasa sakit perut setelah minum susu, berarti Anda menderita intoleransi laktosa. Penyebabnya karena kurangnya produksi laktase dalam tubuh. Laktase adalah enzim yang dihasilkan usus kecil yang berfungsi memecah laktosa yang terkandung dalam susu agar dapat diserap oleh tubuh. Tetapi bagi penderita intoleransi laktosa, proses pemecahan laktosa tidak berlangsung sempurna sehingga laktosa yang tidak tercena akan masuk dalam usus besar dan dicerna oleh bakteri yang ada di dalamnya sehingga menyebabkan perut kembung, berisi banyak gas, dan diare.

Sebagai solusi dari perasaan mual atau sakit perut, Anda dapat mengganti susu dengan produk olahan susu seperti keju, yoghurt, es krim, susu evaporasi atau susu kedelai yang tidak mengandung laktosa. Beberapa produsen susu juga telah membuat susu tanpa laktosa yang dapat dikonsumsi oleh pendeita "intoleransi laktosa".

Bila Anda hendak mengkonsumsi susu, sebaiknya Anda tidak menggunakan susu kental manis karena susu jenis ini kandungan nutrisinya lebih rendah akibat proses pembuatannya juga banyak mengandung lemak dan gula yang kurang baik untuk tubuh. Konsumsi susu yang dianjurkan adalah 3 porsi setiap hari. Satu porsi yang dimaksud adalah 250 ml susu yang setara dengan 35 gram keju atau 200 gram yoghurt atau 200 gram es krim. Jadi, tidak ada alasan bagi Anda untuk tidak minum susu bukan?

Kunci Pembuka Gerbang Kebahagiaan to Personal Happiness

Seiring perkembangan zaman, banyak aspek, terutama ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami kemajuan pesat. Namun fakta ini berbanding terbalik dengan ranah kejiwaan umat manusia, di mana banyak individu justru kian sulit menemukan kebahagiaan. Berangkat dari kenyataan ini, lewat The Art of Happiness, KA Khavari mencoba menggugat konsep-konsep kebahagiaan semu dan menyuguhkan tesis baru yang tajam tentang sifat manusia dan pencarian ketenangan ruhaniah yang tiada henti.

Sebagai ramuan psikologis dan spiritual tentang potensi manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup dengan latihan-latihan praktis serta kisah-kisah dan metafora-metafora, karya ini menjadi panduan yang berharga dan menggugah pikiran guna menggapai posisi happiness. Buku ini mengupas berbagai persoalan yang terkait dengan perkembangan dan kebahagiaan personal serta memaparkan ide-ide baru dan metode yang tepat untuk meraihnya.

Dalam buku yang dalam versi Inggris diterbitkan White Mountan Publications (2000) ini, Khavari memadukan aneka teori, hasil riset, dan sastra dari berbagai perspektif dan tradisi kultural untuk merangkai sebuah argumen yang kukuh dan menggugah perihal urgensi hidup sebagai makhluk yang cerdas secara spiritual. Dia menganjurkan keseimbangan antara perburuan materi dan pengembangan intelektual, emosional dan batiniah untuk meraih kebahagiaan dalam segala kondisi.

Beragam kisah, tamsil, metode tes dan pelatihan praktis yang disajikan merupakan langkah awal signifikan untuk melakoni hidup dengan kecerdasan spiritual.

Buku ini mendapat pujian dari sejumlah guru besar luar biasa psikiatri di beberapa perguruan tinggi ternama dunia, mulai dari Prof MD David Spiegel dari Universitas Stanford, June Medsen Clausen PhD dari Universitas San Fransisco, Amerika Serikat, sampai AM Ghaderian MD FRCP dari Universitas McGill, Kanada.

Buku ini mengajak siapa pun untuk menggali kekayaan spiritual dalam diri pribadi. Banyak alat praktis yang ditawarkan untuk pencerdasan spiritual seperti menguji kadar kemarahan, 69 cara mengelola stres, mengatur pola makan; resep menyikapi perasaan orang lain, pelatihan senyum, tertawa, validasi diri, membersihkan emosi; berpetualang di zona kesenangan; menyucikan pikiran, mengatasi perasaan-perasaan terluka; menaklukkan amarah dan mengurangi kecemasan.

Anda berjiwa tenang dan tak mudah terguncang? Selamat menyemarakkan kebagiaan lewat karya Dr KA Khavari ini. Atau, Anda justru mudah stres, cemas dan marah? Tak perlu ke mana-mana, periksakan kesehatan psikologis Anda melalui buku ini. Anda akan beroleh alasan waskita untuk senantiasa bahagia, dalam keadaan apa pun.

Banyak teori psikologi dan hasil penelitian mutakhir yang bisa dinikmati, tanpa mengernyitkan dahi. Selingan dongeng rakyat dan kearifan religius di buku ini juga niscaya membawa Anda dalam keasyikan membacanya.

Bahagia itu pilihan, begitu pula derita. Keduanya bersumber dari batin, bukan dari orang lain atau benda-benda di luar diri pribadi. Kekayaan, kekuasaan dan ketenaran bisa menjadi sumber kebahagiaan, namun juga bisa menjadi biang penderitaan. Musibah dan bencana bisa menumbuhkan kearifan, bisa pula melahirkan keputusasaan. Semua bergantung pada kedewasaan dan keuletan batin.

Kedewasaan psikologis-inti buku ini-membuat Anda peka terhadap nilai-nilai kewajaran. Anda pun sigap bereaksi terhadap segala tindakan tak pantas, apalagi yang tak beradab. Kebaikan juga bukan lagi tuntutan, melainkan kenikmatan. Ibadah agama bukan sekadar kewajiban, tetapi anugerah terindah dari Tuhan. Dan yang terpenting, kebahagiaan tak lagi bergantung pada keadaan, tetapi bagaimana mengubah situasi tersebut. Bersama buku praktis ini, Khavari hadir menemani Anda memungut makna di balik setiap peristiwa, menemukan kejenakaan bahkan dalam hal-hal yang mengerikan, menjawab segala tantangan dan peluang serta menikmati segenap hasil kerja yang Anda dapatkan. Dengan demikian, menurut buku ini, keceriaan saban hari bukan lagi mimpi. Selamat menikmati lintasan hidup bertabur pelangi kegembiraan dengan menciptakan surga di setiap detik kehidupan. Inilah buku yang menjadi salah satu kunci untuk membuka pintu gerbang kebahagiaan. (Yudhiarma)

Happiness

Happiness
Setiap insan di dunia ini pasti suka jika ditolong, hal ini merupakan fitrah manusia sebagai mahkluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain. Harapan yang senantiasa ingin diwujudkan dalam kehidupan ini yaitu kelapangan batin, kelapangan rizki dan lain sebagainya. Intinya yang selalu dituju oleh setiap insan di dunia ini adalah happiness atau kebahagiaan hidup.

Banyak jalan menuju Roma, demikianlah kata pepatah sebagai suatu motivasi dalam pencapaian suatu ekspektasi atau harapan, hal inilah kiranya yang menjadikan manusia rela melakukan apapun untuk mencapai kebahagiaan itu.

Banyak faktor yang dapat menjadikan atau mendatangkan suatu kebahagiaan dalam kehidupan ini diantaranya cinta, kekuasaan, harta dan lain sebagainya. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat memahami core value dari kebahagiaan itu maka apa yang ia dapatkan hanyalah sebuah kesenangan yang sifatnya hanya sesaat dan bukan tidak mungkin dapat berubah menjadi petaka dalam kehidupannya.

Seorang pencuri merasa dirinya bisa mendapatkan kebahagiaan dari hasil ia mencuri atau merampok harta milik orang lain, padahal harta yang ia dapatkan dari jalan yang tidak benar tersebut membuat batinnya selalu merasa was-was, selalu dihantui perasaan yang membuat dirinya tidak tenang jika perbuatannya sampai diketahui orang lain dan melaporkannya kepada polisi. Hal ini sungguh sangat berbeda dengan seseorang yang mendapatkan rezekinya dari jalan yang halal meski harus berpeluh keringat membanting tulang dan ia pandai mensyukuri apa yang didapatkan, terlebih lagi bisa berbagi dengan sesamanya, maka kebahagiaan sudah pasti dapat diraihnya.

Oleh karenanya pemahaman akan hakekat kebahagiaan itu sendiri harus diketahui, sehingga segala sesuatu yang kita kerjakan dan kita perjuangkan untuk mewujudkan kebahagiaan itu tidak hanya memuaskan batin kita, tetapi juga dapat melapangkan dan menjernihkan hati serta pikiran kita.

Untuk dapat menggapai kejernihan hati dan kelapangan batin, tiada lain kita mesti dapat memberi makan pada jiwa kita dengan makanan yang bersifat spiritual/batiniah. Makanan batin inilah yang nantinya akan menjadikan jiwa kita menjadi sehat layaknya raga kita yang senantiasa kita jaga dengan makanan bergizi yang bersifat materi/fisikis.

Esensi dari kebahagiaan, tiadalah lain jikalau kita telah dapat merasakan simpati, empati dan hasrat yang begitu hangat saat kita dapat mendistribusikan sesuatu serta berbuat sesuatu yang begitu bermanfaat kepada lingkungan sekitar kita. Meski tidak terlalu besar nilainya akan tetapi, jika ketulusan serta keikhlasan hati yang menjadi motivatornya, maka niscaya kita akan dapat merasakan apa yang disebut kebahagiaan.

Kehangatan yang kita rasakan merupakan efek dari energi positif yang kita berikan bagi lingkungan kita. Semakin peka hasrat kita untuk memberikan sesuatu maka energi yang kita dapatkanpun semakin besar, yang akan membuat diri kita begitu lapang dan begitu bahagia.

Maka mulailah dengan sedekah terkecil kita namun besar manfaatnya, seperti sebuah senyuman tulus iklhas pada sesama. Jika tidak dari yang terkecil maka takkan sanggup kita untuk dapat memberikan yang besar. Bukankah seseorang yang paling berarti dan mulia dalam hidupnya adalah ia yang dapat bermanfaat bagi sesamanya, maka janganlah ragu untuk melepaskan E+ (energi positif), lakukanlah sekarang!.


Apa yang Kamu Maksud dengan "Bahagia"?
happiness, Kebahagiaan, subjective well-being 8 komentar
Kebahagiaan. Bila dibicarakan, tidak akan ada titik temunya karena hal tersebut sangatlah pribadi. Ada orang yang bahagia hanya dengan makan teratur 3 hari sekali, ada juga orang yang tidak bahagia meski sudah memiliki mobil lebih dari 1. Kebahagiaan menjadi sesuatu yang sangat pribadi bila kita menanyakan pada diri kita masing-masing, namun tidak sedikit penelitian psikologi yang dilakukan untuk mengetahui apa itu "bahagia" dan mengalami "kebahagiaan" sebagai upaya 'menggeneralisasi' arti kebahagiaan.

Bicara tentang penelitian tentang kebahagiaan, hal tersebut sudah menjadi perhatian para ilmuwan psikologi untuk menjadi kajian ilmiah. Tujuannya hanya 1: menemukan rumus umum bagi manusia untuk bahagia, meskipun setiap orang memiliki makna kebahagiaannya sendiri-sendiri. Ada beberapa ilmuwan Psikologi yang telah menemukan kebahagiaan dengan pemaknaannya masing-masing dari hasil penelitian. Sebut saja Veenhoven, Psikolog asal Belanda yang mengatakan satu kalimat, "Bahkan surga pun akan menjadi neraka bila kita berpikir bahwa surga itu tidak menyenangkan". Ia mengemukakan bahwa bahagia atau tidak, bergantung pada bagaimana kita memandang hidup, bagaimana kita bersyukur terhadap apa yang sudah kita miliki. Arbiyah (2008) yang meneliti tentang hubungan antara rasa bersyukur dengan kebahagiaan menemukan bahwa rasa bersyukur memiliki korelasi positif dengan kebahagiaan. Semakin besar rasa bersyukur seseorang, maka semakin bahagia pula orang tersebut.

Sonja Lyubomirsky, seorang psikolog Amerika yang berasal dari Rusia tertarik meneliti tentang kebahagiaan karena pada masa kecilnya di Amerika, ia terheran-heran melihat orang-orang yang murah senyum padanya - sesuatu yang tidak biasa dilihatnya di negara asalnya, Rusia. Ia mendefinisikan seseorang yang bahagia adalah seseorang yang sering merasakan emosi positif, seperti: senang, riang, bertekad, dan emosi-emosi lainnya. Penemuan Sonja tersebut baru hanya melingkupi aspek 'emosi' atau aspek perasaan seseorang.

Ed Diener, seorang psikolog yang sudah lama mengkaji mengenai kebahagiaan atau "Subjective Well-being" (menurut istilahnya) mengatakan bahwa ada 2 aspek yang harus dipertimbangkan saat menelaah apakah seseorang telah mengalami kebahagiaan. Kedua aspek tersebut adalah aspek afektif (emosi) seperti yang telah dikatakan Sonja Lyubomirsky dan aspek kognitif. Kebahagiaan pada aspek kognitif seseorang dilihat dari seberapa puaskah seseorang terhadap hidupnya dengan terlebih dahulu menimbang-nimbang apa yang telah ia miliki dan jalani. Salah satu pertanyaan yang dapat mengindikasikan apakah seseorang telah puas secara kognitif adalah, "Bila ada kesempatan untuk mengulang hidup anda, sejauh apakah anda ingin mengubah hidup anda?".

Lain halnya dengan Martin Seligman, Presiden American Psychological Association dan pendiri aliran psikologi Positif, yang mengatakan bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya atau "Authentic Happiness" akan didapat apabila seseorang menjalankan apa yang sesuai dengan karakter moral, yaitu hal yang kita anggap sesuai dengan pandangan hidup kita. Ia menyebutkan ada 6 karakter moral utama yang ada pada manusia dan keenam karakter moral tersebut berbeda-beda pada masing-masing individu.

Penelusuran mengenai kebahagiaan sudah menjadi hal yang menarik umat manusia sejak beribu-ribu tahun lalu. Filsuf Yunani kuno membedakan 2 jenis kebahagiaan, yaitu eudaimonia dan hedonis. Telah menjadi pertanyaan apakah seseorang bahagia karena telah mencapai hal yang diinginkannya ataukah ia bahagia karena sedang menjalani hal yang diinginkannya. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan mengenai kebahagiaan yang tidak dapat dijawab dengan sederhana. Meskipun begitu, sebagai bentuk kontribusi kita terhadap penemuan 'rumus' kebahagiaan hidup, mungkin kita semua dapat merenungkan apa arti kebahagiaan menurut diri kita masing-masing.

Kelemahan Falsifkasi Popper- By Andhya Dhyaksa
http://lelakon49.wordpress.com/2008/09/12/kelemahan-falsifkasi-popper/
Latar belakang.
Sistim Politik sebagai dasar dari tujuan yang diajukan oleh manusia dalam komunitasnya memiliki konsekuensi yang harus diterima apabila sistim itu tidak bisa diterapkan dalam suatu negara, yakni sistim tersebut tersingkirkan dan digunakan sistim yang lebih layak. Maka hal ini sejalan dengan pemikiran para kaum falsifikasionis tentang falsifikasi. Metode atau teori yang dianggap gagal dalam proses pengujian diharuskan teralienasi dalam masyarakat. Memang selama ini ilmu tentang falsifiaksi yang diajukan oleh para kaum falsifikasi terus menerus tertuang dalam ilmu alam (sciense), tetapi bukan berarti dengan ilmu sosial humaniora tidak berlaku dalam falsifikasionis. Hal ini terlihat dari suatu sistim politik yang berlangsung saat ini.
Sistem politik yang diajukan oleh epikuros mengenai utilitarianisme (keber-manfaatan) pada zamannya dapat diterima. Tetapi seiring perkembangan zaman, dengan berbagai argument mengenai sistim politik oleh para ahli dalam bidang politik (entah itu seorang filsuf, pakar politik, pemerhati sejarah), konsep politik yang berfondasikan kesenangan ini tidak bisa diterapkan atau diberlakukan lagi pada suatu negara, mengapa? Hal ini berkaitan dengan moto dari utility ini, yakni ‘the great happiness of the greatest number’ atau kebahagian terbesar untuk jumlah terbanyak akan menghilangkan suara minoritas.
Secara hukum, moral keadaan manusia harus terpenuhi apabila kita telah keluar dari fase ‘kodrat alam’. Secara tidak langsung, setelah kita masuk dalam suatu negara dengan memiliki sistim politik yang dijadikan sebagai cita-cita bersama, disitu telah terjadi suatu ikatan antara pihak negara dan masyarakat. Maka berbagai bentuk suara masyarakat—tak peduli itu beda kulit, agama, suku-suku harus diperdengarkan dan dirayakan dalam teritori negara. Hal inilah yang menjadi landasan bagi para pemikir politik atau para filsuf politik mengadakan berbagai percobaan demi menelurkan suatu formulasi sistim politik yang bisa digunakan oleh suatu negara dengan memaksimalkan kesamaan kesempatan dan suara. Maka meretaslah sistim persamaan liberal, yakni cikal bakal dari libertarianisme.
Pada titik ini, para peneliti menjalin kesepakatan secara tidak langsung mengenai sistim negara yang ideal. Dalam utility kebebasan individu bisa mengalami ‘kahilangan’, disebabkan ada suara minoritas yang terkorbankan demi menghasilkan kebahagian terbesar untuk jumlah terbanyak. Apakah hal seperti ini layak digunakan dalam sistim pemerintahan? Apabila terlalu berharap banyak pada prinsip seperti ini, negara akan kehilangan unsur terpenting dalam syarat berdirinya suatu negara, yakni akan kehilangan masyarakat. Maka untuk menghindari hal yang demikian sistim Persamaan Liberal patut dimunculkan dalam permukaan. Suara-suara minorotas yang hilang dalam sistim politik utility bisa dirayakan demi terciptanya negara yang adil pada masyarakatnya.
Maka lahirlah apa yang dinamakan sistim persamaan liberal. Masyarakat berhak menyuarakan apa yang menjadi basis keinginan mereka, suara-suara minoritas dirayakan. Sedangkan negara menampung suara-suara tersebut. Pada kordinat inilah persamaan liberal melakukan berbagai kampanya, dan masyarakatpun mengamini hal yang demikian. Lahirlah apa yang dinamakan sistim liberal.
Tetapi pada kenyataan saat ini masyarakat cenderung menggunakan sistim demokrasi. Tetapi bila kita merujuk lebih dalam, sistim demokrasi yang dianut saat ini adalah sistim demokrasi partisipatoris yang berujung demokrasi mayoritas tirani. Tetapi sayangnya demokrasi seperti ini kembali lagi pada konsep Epikuros, yakni menggunakan suara terbanyak untuk mengambil suatu keputusan. Ada suara yang dikorbankan lagi-lagi. Tetapi inilah yang paling ideal untuk sistim politik saat ini disuatu negara. Kebulatan suara dengan mengangkat suara minoritas lagi-lagi gagal. Maka bila kita lihat lebih jauh kedepan, sistim liberal yang diajukan sebagai penyempurna dari teori teori utility ini akan kembali pada sistim utility.
Sehingga apa benar suatu sistim pemerintahan yang telah mengalami berbagai pembenaran dan layak digunakan suatu negara bisa digunakan selamanya? Dan apakah sistim yang lama, yang telah mengalami pembaharuan akan tidak terpakai dalam masyarakat? Dimana tidak selamanya konsep yang telah dimodifikasi dan diperbaiki kesalahannya dari konsep terdahulu bisa bertahan dalam masyarakat. Mengapa terjadi hal yang demikian? Karena implementasi dari dibentuknya sistim politik adalah untuk kesejahtraan masyarakat. Sehingga layak atau tidaknya suatu teori atau sistim bukan hanya dikonfirmasi oleh para pemikir, tetapi masyarakat berperan besar dalam ranah politik untuk merealisasikan sistim apa yang baik untuk digunakan.
Hal-hal yang telah terkonfirmasi terkadang membutuhkan latar belakang dalam pembentukan suatu teori. Maka sejarah menjadi suatu momok dalam falsifikasi. Derajat kegunaan tidak bisa lepas dari historisitas masyarakat. Maka apabila masyarakat belum siap menerima sistim politik yang telah dimodifikasi – baca persamaan libera- maka azas kemanfaatan dan sikap pragmatislah yang digunakan masyarakat. Kebetulan sikap masyarakat tersebut masuk dalam sistim politik utility. Selain itu masyarakat saat ini cenderung menyukai sikap hedonis- sikap yang mengutamakan kesenangan-, dan sikap hedonis ini masuk dalam turunan sistim utility. Maka makin kuatlah bargaining position utility terhadap persamaan liberal dalam ranah sistim politik.
Lalu sampai dimana derajat kegunaan konfirmasi kaum falsifikasi dalam kasus kali ini? perlu dipertanyakan lagi konfirmasi demikian. Apabila kita melihat bargaining position sistim politik utility terhadap persamaan liberal, dapat tercermin suatu keangkuhan pada falsifikasi dan para peretas sistim persamaan liberal. Menerut mereka sistim yang telah dimodifikasi ini akan mengakomodir semua suara masyarakat, dan akan digunakan oleh masyarakat. Tetapi pada kenyataannya keadaan ini terbalik. Maka derajat konfirmasi tidak dapat mengesahkan suatu sistim teori atau sistim politik.
Posisi Konfirmasi dalam Falsifikasi.
Ilmu pengetahuan saat ini telah mengalami kemajuan yang berarti. Hal ini ditunjukan dengan pesatnya kemajuan tekhnologi dalam kehidupan manusia. Kesejahtraan, kehidupan yang layak, kemudahan dalam berbagai bidang menjadi acuan mengapa ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang fundamental dalam masyarakat. Bahkan terkadang ilu pengetahuan ini merusak sistim agama dalam masyarakat. Banyak pertentangan yang terjadi mengenai hal yang demikian. Pertanyaan-pertanyaan mana yang lebih penting antara ilmu pengetahuan dan agamapun tak jarang saya dengar.
Disinilah posisi tawar yang dicanangkan oleh kaum falsifikasi. Sampai dimanakah kelayakan suatu ilmu pengetahuan dimata masyarakat? Memang kaum falsifikasi tidak menyinggung pergulatan antara agama dan ilmu pengetahuan. Tetapi metode yang digunakan—falsifikasi dalam merumuskan teori atau ilmu dimasyarakat bisa mengetengahkan berbagai pergulatan yang terjadi.
Alih-alih asas pebenaran dalam ilmu pengetahuan atau pergeseran antara agama, Popper mengungkapkan prinsip falsibilatas dalam ilmu pengetahuan. Artinya, ciri khas pengetahuan ilmiah bahwa dapat dibuktikan salah (it can be falsified). Kedigdayaan ilmu pengetahuan ini tidak serta-merta bahwa teori ini tidak memiliki kelemahan, karena teori yang baik mengharuskan memiliki kelemahan yang tinggi—derajat kesalahan yang tinggi.
Selain memiliki derajat kesalahan yang tinggi, ilmu pengetahuan yang layak menurut kaum ini adalah setelah ilmu pengetahuan mengalami berbagai percobaan atau eksperimen. Eksperimen inilah yang nantinya akan menghasilkan suatu teori yang akan layak atau tidaknya dalam masyarakat. Dalam proses sampai pada titik kelayakan, suatu ilmu akan di’legal’kan melalui proses konfirmasi atau falsifikasi. Disinilah peran konfirmasi dan falsifikasi dalam menentukan kebijakan teori apa yang akan digunakan dalam masyarakat.
Dapat dilihat konfirmasi memegang peranan yang cukup penting dalam falsifikasi. Tetapi apakah suatu teori yang layak itu diharuskan untuk dikonfirmasi? Ternyata tidak, perkembangan kemajuan ilmu atau teori yang berarti ditandai dengan dengan konfirmasi dugaan yang berani dan falsifikasi dugaan yang berhati-hati. Dugaan yang berani ada karena ilmu atau teori benar-benar memunculkan sesuatu yang baru, bukan suatu perkembangan ilmu yang bersifat ‘tambal sulam’.
Lalu bagaimana apabila dalam proses ekperimen tersebut teori lama yang akan bertahan paling akhir? Hal ini tidak memerlukan konfirmasi, karena teori lama itu sudah pernah dikonfirmasi ketika teori tersebut muncul pertama kali dalam masyarakat. Apabila suatu dugaan yang berani—teori yang diajukan untuk tandingan dengan teori lama difalsifikasi, maka apa yang kita ketahui dari semua itu tidak lain adalah bahwa suatu ide yang ada telah dibuktikan. Sehingga apabila konfirmasi dalam falsifikasi benar-benar terjadi, maka hal ini ditujukan untuk membenarkan dan mengabsahkan suatu teori baru yang dianggap benar-benar berguna dan membuat hidup masyarakat lebih baik.
Hal ini tidak lain karena diajukannya falsifikasi ditujukan untuk kebaikan ilmu pengetahuan yang bersifat informative. Anggapan ini juga diperkuat dengan pernyataan Chalmers, “… Andaikata saya besok mengkonfirmasi suatu teori spekulati (dugaan berani) yang menyatakan bahwa gaya grafitasi antara dua benda tergantung pada temperature mereka, dengan demikian memfalsifikasi proses teori Newton, maka saya akan memberikan sumbangan penting kepada pengetahuan ilmiah”, dia mengatakan demikian karena ada informasi baru yang diperoleh masyarakat dengan mengkonfirmasi suatu teori. Inilah yang merupakan gambaran ideal tehadap teori yang bersifat informatife dalam pandangan kaum falsifikasionisme.
Konfirmasi mempunyai tempat khusus dalam falsifikasionisme. Tetapi falsifikasi mempunyai ruang yang benar-benar penting dalam falsifikasionisme sofistikit. Tetapi hal ini tidak menghapus cap sebagai ‘falsifikasionisme’. Kaum falsifikasionis sofistikit tetap mempertahankan bahwa teori-teori dapat terfalsifikasi dan ditolak, sementara disangkal bahwa teori-teori akan pernah bisa ditentukan sebagai benar atau boleh jadi memang benar. Maka dalam hal ini kita dapat melihat, peran konfirmasi memang benar-benar diperlukan untuk menentukan duganan-dugaan baru.
Tetapi apakah yang memegang peranan peng-konfirmasi hanya dilakukan oleh para ilmuwan atau orang yang berkompeten dalam bidangnya? Ternyata tidak, Suatu keterangan-obserfasi (kaum falsifikasipun melakukan observasi dalam menentukan suatu ilmu) selalu harus dirumuskan dalam bahasa publik atau didepan publik, dapat diuji dan terbuka untuk dilakukan modifikasi atau ditolak. Pengamat individual boleh menrima atau menolak keterangan-observasi khusus. Maka bila kita bercermin dari pernyataan Chalmers tersbut, konfirmasi juga dilakukan oleh masyarakat, bukan hanya dilakukan oleh para ilmuwan.
Pergulatan Sistim Politik Utility dan Persamaan Liberal.
Utilitarianisme merupakan sistim politik yang menekankan pada prinsip kebermanfaatan. Adapun pencetus awal dari teori ini adalah salah seorangf filsuf zaman Helenisme, yakni Epikuros. Memang pada awal pemikiran ini meretas, Epikuros tidak secara spesifik menyebutkan tentang politik. Namun pemikirannya tentang ‘kebahagiaan manusia’ yang menjadi landasan timbulnya sistim politik utiltarianisme.
Konsep kebahagian dalam Epikuros ini disebut hedone (kenikmatan, kepuasan). Berasumsi dari pemikiran yang demikian, sistim politik utilitarianisme merangkai sistim politik yang berlandaskan ‘the great happiness of the greatest number’. Suara mayoritas yang mengambil alih kebijakan, dan suara minoritas harus mengikuti suara mayoritas. Hal ini disebabkan karena suara mayoritas akan memberikan kebahagiaan terbesar dalam masyarakat.
Utilitarianisme menuntut bahwa pengejaran pada kesejahtraan—baca kebahagiaan, atau kehidupan yang baik adalah sesuatu yang kita kejar alam kehidupan kita sendiri dan kehidupan masyarakat. Pencarian akan kesejahtraan atau kemanfaatan dilakukan tanpa pilih kasih, hal ini dilakukan untuk semua masyarakat. Maka kebahagiaan untuk semua orang dapat teralisasi dengan mencari kebahagian untuk jumlah terbesar.
Daya tarik yang demikianlah yang menjadikan promosi utilitarianisme sebagai sistim politik suatu negara. Promosi demikian dicanangkan untuk memotivasi keperihatinan yang melanda masyarakat sebagai makhluk yang berhak atas kebahagiaan. Utilatiarisme memastikan aturan-aturan dalam sistim negara memberikan sejumlah fungsi yang berguna bagi masyarakatnya, karena aturan-aturan itu ditujukan untuk mengejar kesejahtraan. Adapun aturan-aturan dibuat pemerintah untuk mensejahtrakan masyarakat.
Kebijakan yang diambil dalam mencetuskan sistim ini adalah demi memaksimalkan kesejahtraan. Hal sperti ini didefinisikan sebagai penyamarataan atau memberikan bobot yang sama pada kesejahtraan setiap orang, meskipun pada masyarakat yang tidak setuju. Rawlsapun juga mengatakan bahwa utilitarianisme pada dasarnya merupakan teori yang jenis kedua- yaitu teori yang mendefinisikan yang benar dalam pengertian memaksimalkan kebaikan atau kesejahtraan.
Penyangkalan Persamaan Liberal Terhadap Utility
Ketidakpuasan para pemikir politik konteporer—terutama John Rawls mengenai prinsip utility mengakibatkan mereka mencari jalan untuk menelurkan suatu sistim yang komperhensif, yang dapat mengakomodir seluruh masyarakatnya. Maka lahirlah sistim politik Persamaan Liberal.
Sistim politik ini lahir setelah mencoba untuk menutupi kekurangan yang dimiliki oleh utilitarianisme. Disinilah proyek Rawls tertuang, proyek persamaan kesempatan atau persamaan liberal yang diajukan Rawls untuk memperbaiki utilitarianisme. Kita memerlukan teori tentang yang fair (a theory of fair shares) sebelum melakukan perhitungan utility, karena ada batasan-batasan dalam individu dapat dikorbaknkan secara sah demi keuntungan orang lain. Jika kita memperlakukan orang secara sama, kita harus melindunginya dalam hak kepemilikan hak dan kebebasan tertentu. Sehingga jarogan yang dirayakan oleh utility ‘the great happiness of the greatest number’ mengakibatkan adanya suara minorotas. Keadaan seperti inilah yang mesti dirubah.
Persamaan kesempatan dan suara menjadi fondasi untuk mengukuhkan sistim politik ini dalam masyarakat. Dengan cara pembagian distributif yang merata inilah sistim politik persamaan liberal mengadakan promosi. Pembagian distributif ini akan mememakai sikap egalitarian—persamaan. Apabila distributif ini tidak sama dalam pembagiaanya, maka hal inipun akan menguntungkan pada mereka dipihak yang lemah—baca mereka yang kekurangan.
Gagasan utama Rawls adalah ‘semua barang-barang sosial yang utama –kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar kehormatan diri—harus didisbudtrisikan secara merata, kecuali distribusi boleh tidak merata dilakukan apabila ketimpangan tersebut menguntungkan mereka yang kekurangan (bukan mayoritas).
Kenapa prinsip ini disuarakan? Hal ini dikarenakan jika utilitarianisme paling baik dilihat sebagai doktrin yang egalitarian, maka tidak ada komitmen yang berdiri sendiri untuk memaksimalkan gagasan kesejahtraan. Kaum utilitarianisme harus mengakui bahwa kita hendaknya menggunakan standar yang memaksimalkan hanya jika kebijakan itu merupakan perlakuan yang terbaik untuk memperlakukan orang secara sama. Tetapi apa yang terjadi bila kenyataan yang seharusnya—egalitarian tidak sesuai dengan jarogan utilitarianisme.
Inilah yang menjadi senjata utama konsep persamaan liberal versi Rawls untuk menjatuhkan utilitarianisme. Maka tak pelak lagi sistim politik yang demikian akan musnah dari cakrawala. Terhapusnya sistim politik utility ini juga diamini oleh banyak pemikir. Keyakinan terhapusnya utility disebabkan karena konsep kesbahagiaan ini malah akan mengakibatkan termaginalnya oleh sebagian kaum.
Keadaan Masyarakat Saat Ini.
Menurut saya, masyarakat saat ini cenderung menggunakan sistim politik utility. Keadaan demikian dapat dilihat dengan adanya berbagai kendala dalam merumuskan suatu permasalahan. Maka akhir-akhirnya sistim pollinglah yang akan diajukan dalam masyarakat. Sistim polling demikian sejalan dengan jarogan utama dari kaum utility. Selain itu apabila dalam ranah ekonomi, proses distributif juga mengalami kecacatan.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kymilka ‘mengingat bahwa perbedaan-perbedaan gaya hidup juga mempengaruhi pola distribusi’. Keraguan akan diberlakukannya sistim politik persamaan liberal disebabkan karena jarang masyarakat saat ini rela berkorban bagi mereka yang kekurangan. Mereka cenderung menyimpan harta dari pada memberikan pada mereka yang kekurangan.
Selain itu masyarakat saat ini cenderung menggunakan prinsip hedone dalam kesehariannya. Kesenangan dan kebahagian adalah kegiatan yang mereka cari. Sikap hedone itu sendiri merupakan turunan dari utilitarianisme. Maka lengkaplah bahwa konsep atau teori persamaan liberal tidak lagi dapat digunakan saat ini, karena masyarakat cenderung mengguanakan sikap dari utility.
Benang merah antara sistim politik dan konfirmasi dalam falsifikasi.
Dalam rangka berkembangnya ilmu pengetahuan (baik itu dalam bidang eksakta atau ilmu alam maupun sosial), yang terpenting bukanlah apa jawaban yang diberikan, melainkan bagaimana pertanyaan itu diajukan demi menjaga ke-validan ilmu pengetahuan. Mengapa pertanyaan tersebut dianggap sangat penting untuk suatu ilmu atau teori?
Bila kita melihat demikian pada saat ini, ada tiga alasan mengapa timbulnya alasan tersebut:
1. Secara histories, seperti yang diungkapkan dalam pendahuluan—bahwasanya teori politik adalah suatu cara untuk mengatur masyarakat agar hidup lebih baik, sehingga dalam tahap ini timbulah pertanyaan ‘apakah dasar kebaikan yang diajukan dalam teori politik utilitarianisme bisa diterapkan untuk semua masyarakat?’ atau ‘apakah konsep kebahagian yang diajukan dalam sistim politik utilitarianisme itu benar-benar mensejahtrakan masyarakat?’ .
2. Pertanyaan-pertanyaan demikian telah menimbulkan suatu konsep yang lebih baik daripada konsep yang sebelumnya. Yaitu teori politik utilitarianinisme belum tentu mendahulukan mensejahtrakan masyarakatnya, karena disebabkan oleh ada sebagian masyarakat minoritas yang terkorbankan. Dengan kata lain, timbulah suatu teori perkembangan dalam menanggapi hal yang demikian. Suatu evolusi diperlukan, dikarenakan sistim politik utilitarianisme tidak membuat kesejahtraan bagi asyarakatnya. Proses inilah yang dinamakan proses perkembangan.
3. Pertanyaan yang disebut nomer satu tidaklah hadir dalam masyarakat sehari-hari, karena masyarakat hanya hidup dengan dasar ‘bagaimana dia hidup’, dengan cara apa dia hidup’ dan lain sebagainya yang tidak bersangkutan dengan konsep kesejahtraan masyarakat. Maka pertanyaan-pertanyaan yang demikian hanya timbul dalam pemikiran para ilmuwan atau orang yang berpikir lebih maju.
Pada sejumlah pertanyaan diatas, maka peran ilmuwan atau para ahli politik menjadi suatu yang sangat imperative. Merekalah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk menempatkan masalah tersebut pada proposisi yang sebenarnya. Oleh sebab itu, mereka mempunyai suatu kewajiban sosial untuk menyampaikan pembaharuan sisitim politik yang lebih baru dan lebih baik dalam masyaraƄkat. Adapun bahasa untuk menyampaikan pesan tersebut haruslah yang mudah dicerna oleh masyarakat. Maka pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk memverifikasi suatu teori dapat dimengerti dan digunakan oleh masyarakat. Lalu pada langkah selanjutnya, masyarakat baru mempunyai peran dalam menentukan sistim apa yang akan digunakan.
Sehingga sampailah pada tahap dimana suatu teori yang dapat digunakan oleh para ilmuwan dan masyarakat. Proses pertanyaan inilah yang dinamakan oleh kaum falasifiksionisme sebagai pengujian (observasi). Berbagai data yang telah dikumpulkan akan dilakukan sebuah pengujian. Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui sampai dimana teori yang akan bertahan paling akhir adalah teori yang akan digunakan (yang baru memerlukan konfirmasi dan yang lama tidak). Kejadian ini tidak lepas dari tujuan falsifikasi, yakni pebenaran suatu teori, bukan seperti yang di’idap’ banyak orang, sebagai suatu proses penyalahan.
Konfirmasi hadir ditandai dengan melakukan hal-hal yang bersifat berani (dugaan berani). Begitupun dengan sistim politik persamaan liberal. Sistim ini lahir untuk menanggulangi sistim politik yang ada sebelumnya, yakni utilitarianisme. Maka yang terjadi adalah sistim politik utilitarianisme akan terfalsifikasi, dan persamaan liberallah yang akan digunakan. Tetapi apakah masyarakat saat ini menjawabnya dengan mengiyakan sistim politik persamaan liberal? Ternyata realita sekarang tidak menjawbnya dengan fasih. Masyarakat cenderung menggunakan metode poling untuk menjawab permasalahan yang terjadi. Sehingga lagi-lagi akan mengorbankan suara minoritas—sesuai dengan jarogan ‘the great happiness of the greatest number’, dan mayoritas tiranilah yang akan menentukan langkah-langkah dan berbagai kebijakan dalam masyarakat.
Mayoritas tirani disini ialah penentuan kebijakan bukan diambil berdasarkan oleh keputusan bersama— dengan mengambil asumsi suara masyarakat patut dirayakan. Ketika kematian suara dari minoritas masyarakat dilakukan maka akan membuat persamaan liberal jatuh kedalam titik kulminasi terbawah. Kemudian prinsip kebermanfaatan masyarakat lah yang akan muncul. Karena tidak semua masyarakat menyetujui prinsip distribusi persamaan liberal. Sehingga pada kontaradiksi inilah konsep persamaan liberal teraleanisasi dari sistim masyarakat. Keberadaan teori persamaan liberal telah pupus, dan prinsip utilitarianisme kembali mengeruak ke permukaan.
Lalu patut dipertanyakan ketika para pemikir dari kaum falsifikasi telah mengkonfirmasi suatu teori yang dianggap baru, dan lebih baik—baca persamaan liberal. Ketika realita mengatakan hal yang berseberangan dengan kesahihan suatu teori dalam masyarakat menurut kaum falsifikasi. Apa hal yang demikian masih perlu dipertahankan dalam sebuah tatanan masyarakat? Maka derajat konfirmasipun menjadi sebuah tanda tanya besar. Mengapa dengan semena-mena mengkonfirmasi teori baru dan memfalsifikasi teori lama yang dianggap usang dan tidak memberikan kelayakan dan kesejahtraan bagi masyarakatnya. Apakah teori lama—baca utility tidak mampu mensejahtrakan masyarakat? Ternyata pernyataan demikian, yang dianggap tidak mengakomodasikan kesejahtraan, mampu ‘berbicara’ dalam masyarakat dan diamini pula. Hal inilah yang menanyakan kembali konsep konfirmasi yang diajukan oleh kaum falsifiaksi.
Para pemikir politik konteporer dan para kaum falsifikasionisme telah mengalami kekeliruan. Karena apabila mereka beranggapan bahwa teori yang lama dan telah usang akan dijauhi masyarakat. Kecenderungan saat ini menjurus pada penggunaan teori lama, yakni utilitarianisme Sehingga mereka yang menolak utilitarianisme dengan mengatakan bahwa kelemahan-kelemahannya sangat banyak sehingga tak pelak lagi utilitarianisme akan menghilang dari cakrawala ini sunguh-sunguh salah.
Tesis
Hal-hal yang telah terkonfirmasi terkadang membutuhkan latar belakang dalam pembentukan suatu teori. Maka keterbatasan inilah yang mesti dihadapai oleh kaum falsifikasionis. Latar belakang menjadi suatu momok dalam falsifikasi. Derajat kegunaan tidak bisa lepas dari historisitas masyarakat. Maka apabila masyarakat belum siap menerima sistim politik yang telah dimodifikasi – baca persamaan liberal ,maka azas kemanfaatan dan sikap pragmatislah yang digunakan masyarakat. Kebetulan sikap masyarakat masuk dalam sistim politik utility. Selain itu masyarakat saat ini cenderung menyukai sikap hedonis- sikap yang mengutamakan kesenangan-, dan hedonis itu masuk dalam turunan sistim utility. Maka makin kuatlah bargaining position utility terhadap persamaan liberal dalam ranah sistim politik.
Disinilah dapat kita lihat, bahwa suatu teori yang lebih sempurna dan telah dikonfirmasi oleh para ilmuwan belum tentu bisa meyakinkan masyarakat untuk menjalankannya. Sehingga apabila suatu teori akan musnah dan hilang dari cakrawala karena memilki banyak kelemahan, itu salah dalam ranah politik. Masyarakat akan lebih suka menjalankan yang lama apabila teori itu lebih “gampang” digunakan (mana suka). Sehingga pemikiran dari Popper mengenai falsifikasi tidak dapat berlaku dalam ranah sosial—khususnya politik.
Daftar Pustaka.
Chalmers, A F. Apa itu yang Dinamakan Ilmu?. Jakarta: Hasta Mitra, 1982.
Hadiwiyono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Rawla, John. A Theory of Justice. Oxford: Oxford University Press, 1971
Will, Kymlika. Pengantar Filsafat Politik Konteporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Verhaak, C dan Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja-Kerja Ilmu. Jakarta: Gramedia. 1989.


Resensi: The 7 Laws of Happiness, 2008, Arvan Pradiansyah, Penerbit Kaifa

http://www.mail-archive.com/bhinneka@yahoogroups.com/msg02711.html

KEBAHAGIAAN DAN ENERGI MINIMAL
Oleh
Audifax
Research Director di SMART Human Re-Search & Psychological Development


Arvan Pradiansyah senantiasa mengatakan bahwa kunci segala sesuatu berada dalam
otak. Pendapat ini menarik untuk kita bahas lebih jauh, karena dalam beberapa
temuan terakhir ternyata manusia memang memiliki semacam cetak biru peran
kehidupan yang tersimpan di otaknya, bahkan telah terbentuk sejak individu di
dalam kandungan. Bahkan menurut saya, pemikiran Arvan mengenai ‘Kebahagiaan’
memiliki implikasi logis jika dikaitkan dengan temuan mengenai cetak biru dalam
otak tersebut.

Apa itu ’kebahagiaan’? Arvan membedakan antara ’kebahagiaan’ dan ’kesenangan’.
Ukuran ’kebahagiaan’, menurut Arvan, adalah kualitas. Maka itu, Kebahagiaan
tidak mengacu pada pencapaian melainkan proses. Saya mencoba menggambarkan
’kebahagiaan’ dengan mengaitkannya pada konsep yang disebut ’Energi Minimal’.
Konsep inilah yang dalam esei ini akan mempertautkan konsep Arvan mengenai
‘Otak’ dan ‘Kebahagiaan’ dengan apa yang saya sebut ‘Peran Kehidupan’.

Dalam sebuah diskusi menarik di FSK ITB, Alfathri Adlin mengemukakan mengenai
‘Energi Minimal’. Dicontohkannya Albert Einstein dan Thomas Alfa Edison.
Bagaimana penjelasan seorang Einstein yang di masa sekolahnya payah di semua
pelajaran kecuali matematika, namun di kemudian hari menjadi fisikawan terbesar
abad 20? Bagaimana penjelasannya seorang Edison bertahan melakukan percobaan
seribu kali dan baru pada percobaan keseribu ia berhasil?

Semua itu adalah persoalan ‘Energi Minimal’. Energi minimal itu semacam
bayangan jati diri individu. Suatu kemampuan utama yang dimiliki seseorang yang
mengalir mudah ketika mengerjakan sesuatu. Energi minimal tidak mengisyaratkan
seseorang harus mengerjakan sesuatu tanpa kerja keras. Orang malah bisa kerja
keras siang-malam, namun tidak merasa sedang bekerja susah payah. Setiap orang
memiliki energi minimal, sehingga ada yang mudah mendalami filsafat, ekonomi,
atau bahasa, dan lain sebagainya.

Di situlah seorang bisa menemukan apa itu ‘kebahagiaan’, yaitu ketika ia
mengerjakan sesuatu dengan rasa cinta pada apa yang ia kerjakan. Tepat di
situlah individu sebenarnya menemukan peran kehidupan sesuai apa yang ada dalam
dirinya. Sebaliknya, seseorang bisa saja bekerja keras menggeluti suatu hal,
bukan dengan energi minimalnya, tetapi lebih kepada hasrat dan ambisi untuk
meraih suatu hal yang sebenarnya tidak pas untuk dirinya. Nah, yang seperti ini
dalam konsep Arvan simetri dengan apa yang disebut ‘kesenangan’, bukan
‘kebahagiaan’.

BAGAIMANA MENEMUKAN ENERGI MINIMAL?
Menemukan Energi Minimal berarti juga menemukan diri. Menariknya, sebuah temuan
menunjukkan bahwa di dalam otak kita tersimpan semacam cetak biru yang telah
terbentuk sejak usia 21 minggu dalam kandungan. Cetak biru ini bisa
dianalogikan semacam ‘talenta’ yang diberikan pada masing-masing individu.
Ketika individu memahami dan mengembangkan ‘talenta’ ini, maka ia pun akan
mampu mengembangkan diri sesuai Energi Minimalnya.

Temuan itu berbicara mengenai kecerdasan manusia, yang coba ditransformasikan
dalam kerangka teori Multiple Intelligence dari Howard Gardner. Ditemukan bahwa
ada semacam proporsi pola wadah sesuai delapan komponen kecerdasan: Logika
Matematika, Logika Bahasa, Spasial-Visual, Musik, Kinestetik, Interpersonal,
Intrapersonal dan Naturalistik. Masing-masing individu memiliki pola yang khas
sesuai dirinya.

Proporsi pola wadah ini bersifat menetap, meski perkembangan saraf-saraf di
otak terus bertambah. Inilah kecerdasan potensi. Namun, dalam perjalanan
hidupnya, belum tentu kecerdasan potensi ini kemudian berkembang menjadi
performa sebagaimana pola yang naturnya. Bisa jadi, dalam keseharian komponen
kecerdasan potensi yang menjadi kelebihan justru tidak berkembang karena
pengaruh lingkungan (nurture) dan sebaliknya, komponen yang secara natur
inferior justru berkembang. Kecerdasan yang terbentuk oleh nurture ini adalah
Kecerdasan Performa.

Persoalannya kemudian bukan pada sesuai atau tidaknya antara perkembangan
kecerdasan potensi dan performa, melainkan seberapa individu mampu menggunakan
Energi Minimalnya, agar ia benar-benar merasa bahagia dengan apa yang ia
kerjakan. Arvan memberi ilustrasi bagus untuk hal ini:

Seorang wanita lajang bekerja sebagai seorang konselor. Dia menikmati
pekerjaannya yang berhubungan dengan anak-anak bermasalah, tetapi sering
mengeluhkan kondisi tempat tinggalnya, lalu lintasnya, penduduk kota yang terus
bertambah, dan panas yang menyengat setiap musim panas.

Di sisi lain, dia ditawari sebuah pekerjaan di sebuah kota kecil yang indah di
pegunungan. Sebenarnya, ia telah berkunjung ke kota itu berkali-kali dan
memimpikan pindah ke sana. Namun, satu-satunya masalah adalah kenyataan bahwa
pekerjaan baru itu akan membuatnya harus menangani pasien orang dewasa. Pilihan
ini membuatnya bingung. Dia menyusun daftar pro dan kontra, tetapi daftar itu
malah membuatnya bertambah bingung.

Wanita ini tahu persis bahwa dia tidak akan menikmati pekerjaan barunya itu,
tetapi dia beranggapan bahwa kekurangan tadi akan diimbangi dengan senangnya
tinggal di kota tersebut. Dia sering membayangkan betapa menyenangkannya
tinggal di kota itu dan betapa tersiksanya tinggal di kota yang sekarang.

Ketika berdiskusi dengan pasiennya ini, Dr. Cutler hanya mengajukan pertanyaan
singkat yang membuat gadis itu berpikir, “Kalau Anda pindah ke sana, menurut
Anda apakah yang akan Anda peroleh, kebahagiaan lebih besar atau kesenangan
lebih besar?”. Pertanyaan singkat ini berdampak luar biasa bagi wanita muda
ini. Dia akhirnya tersadar bahwa kepindahannya ke kota impiannya hanyalah
menghasilkan kesenangan yang lebih besar dan bukan kebahagiaan. Dia sadar bahwa
dia tidak akan bahagia karena harus menghadapi klien dewasa. Dia sadar bahwa
dia mendapatkan kepuasan yang luar biasa sekarang ini dari pekerjaannya
menangani anak-anak. Dia sadar bahwa keputusan untuk tetap meneruskan
pekerjaannya menjadi konselor anak adalah hal yang membuatnya bahagia. Inilah
gambaran bagaimana seorang menemukan peran di mana ia menggunakan Energi
Minimalnya untuk peran tersebut.

TUJUH HUKUM KEBAHAGIAAN.
Arvan mencoba berteori lebih jauh tentang bagaimana mencapai Kebahagiaan. Ia
mengungkapkan adanya Tujuh Hukum Kebahagiaan (The 7 Laws of Happiness). Hukum
itu terdiri dari tiga bagian besar, yaitu Intrapersonal, Interpersonal dan
Spiritual. Berdasarkan tiga area tersebut, barulah dibagi menjadi tujuh
sub-area. Kurang lebih gambarannya demikian:


Spiritual

7. Surrender


Interpersonal

5. Giving

6. Forgiving


4. Love


Intrapersonal

2. Gratefulness

3. Simplicity


1. Patience

Secara ontologis, teori Arvan tersebut dekat dengan teori 7 habits dari Stephen
Covey, bahkan bisa jadi merupakan modifikasinya. Begitu pula jika kita cermati
pada tiga area besar. Di situ ada kesimetrian dengan Multiple Intelligence dari
Howard Gardner, di mana terdapat Kecerdasan Intrapersonal, Interpersonal dan
terakhir muncul wacana Kecerdasan Eksistensial yang kerap dipahami juga sebagai
Kecerdasan Spiritual. Ini menunjukkan Arvan memiliki teoritisasi yang jelas
letaknya di antara pemikiran-pemikiran lain yang terkait.

Secara epistemologi dan aksiologi, Arvan juga mampu memberi penjelasan yang
relatif komprehensif. Ada berbagai contoh yang memudahkan pembaca memahami
bagaimana proses meng-Ada dari teori tersebut, serta bagaimana menerapkannya
dalam konteks realita. Bahkan dalam penilaian saya, teori ini memiliki
kemungkinan untuk berkembang atau dikembangkan lebih jauh. Ini berarti, buku
“The 7 Laws of Happiness” ini sebenarnya merupakan sebuah buku yang serius dan
bukan sekedar buku motivasi biasa.

PIKIRAN DAN ABSURDITAS
Kekuatan dari buku ini terletak pada bangunan teoritisasi yang kuat. Konsep
mengenai ‘Otak’ sebagai pusat sebenarnya sejalan dengan arus pemikiran
modernisme yang digagas oleh Rene Descartes dan kemudian dikembangkan lebih
jauh oleh Immanuel Kant. Otak atau Pikiran sebagai pusat, memang sempat
dihantam habis-habisan oleh pemikir-pemikir posmodernisne, namun demikian,
dalam perkembangan terakhir, pemikir posmodernis Slavoj Zizek, yang juga
psikoanalis neo-lacanian, justru membaca-ulang modernisme dengan kembali
menempatkan Pikiran (Cogito) sebagai pokok utama.

Di sinilah, saya, dengan mengelaborasi pemikiran Zizek, juga ingin
membaca-ulang penempatan pikiran dalam teori Arvan mengenai The 7 Laws of
Happiness. Kebahagiaan, tak pernah finit dengan pencapaian puncak atau hukum
ketujuh seperti digambarkan Arvan di akhir bukunya. Justru jika Arvan mau
konsisten dengan apa yang dia gambarkan mirip dengan
Kekembalian-Segala-Sesuatu-Secara-Sama dalam pemikiran Nietzche, maka Arvan
tidak akan membuat 7 hukum yang bersifat hirarkis, melainkan siklik.

Kebahagiaan, bagaimanapun dicari dan diolah dalam otak, tak akan finit selama
manusia masih menjalani hidupnya. Ini karena seperti dijelaskan Zizek, bahwa
Cogito manusia adalah Empty Cogito atau Cogito yang memiliki semacam lubang
yang membuat apapun yang diisikan kepadanya selalu habis tersedot. Menurut
Zĭzěk, begitu terlahir dalam kehidupan subjek kehilangan keutuhan karena
selamanya berlubang serta menghabiskan hidupnya untuk menambal lubang tersebut
lewat pencarian makna dan keutuhan.

Albert Camus menjelaskan fenomen tersebut secara jenial dalam Mite Sisifus.
Menurut Camus, manusia berada dalam absurditas. Manusia layaknya Sisifus yang
dihukum oleh dewa untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar ke puncak
sebuah gunung; dari puncak gunung, batu besar itu akan jatuh ke bawah oleh
beratnya sendiri. Namun, sejatinya Kebahagiaan dan absurditas adalah dua putra
dari satu (Ibu) bumi. Kita tidak bisa memisahkan Kebahagiaan dan Absurditas
dengan membuat sebuah hukum hirarkis tentang Kebahagiaan. Kebahagiaan bisa
lahir dari penemuan absurd, sebaliknya bisa juga terjadi bahwa perasaan absurd
ditimbulkan oleh kebahagiaan.

Camus kemudian mengutip perkataan Oedipus atas tragedi hidup: “Saya menilai
bahwa semuanya baik”. Jika bicara mengenai Kebahagiaan dan Absurditas, maka
sejatinya kata-kata Oedipus tersebut menggema dalam alam manusia yang buas dan
penuh keterbatasan. Kata-kata itu, jika diresapi, mengajarkan bahwa semuanya
belum tuntas dan tak pernah tuntas. Kata-kata itu membuat takdir menjadi urusan
manusia, dan harus ditangani di antara manusia, bukan melemparkannya ke atas
langit. Inilah sebabnya Nietzche melingkarkan waktu dan memaklumatkan “Kematian
Tuhan” dalam Kekembalian-Segala-Sesuatu-Secara-Sama (The Eternal Recurrent of
the Same).

Dalam waktu yang melingkar dan membuat segalanya kembali itulah sebenarnya
terletak seluruh kegembiraan bisu Sisifus. Persis di situlah nasibnya adalah
miliknya. Batunya adalah bendanya. Begitu pula manusia absurd, ketika ia dalam
kepedihannya mampu merenungkan makna terdalam dari peran hidupnya, maka persis
di situlah manusia mampu membuat semua patung berhala membisu. Pada titik ini,
dalam dunia yang seakan tiba-tiba dikembalikan pada kebisuannya, sayup-sayup
bermunculan suara-suara kecil dari bumi yang terkagum-kagum.
Panggilan-panggilan tak sadar dan rahasia, undangan dari semua wajah, di mana
semua itu adalah gerak pelampauan dan kemenangan manusia atas kehidupan itu
sendiri.

Di sinilah sebenarnya Pikiran tak sejelas dan semudah digambarkan Arvan dalam
‘Memilih Pikiran’. Setiap Pikiran mengenai segala ‘Ada’, sebenarnya sekaligus
juga sebuah absurditas. Di sinilah kita mesti kembali mengingat proses
Descartes dalam menemukan Cogito Ergo Sum-nya. Saat itu, sebenarnya yang
pertama-tama menjadi pencetus justru adalah absurditas, sehingga Descartes
meragukan ‘Ada’-nya. Ia meragukan pikirannya dan kemudian disimpulkannyalah
bahwa justru lewat keraguan itulah ia Ada. Jadi, pikiran bukan sebuah Cogito
yang jernih melainkan selalu berkelindan dengan absurditas.

Inilah yang sejauh amatan saya luput diperhatikan Arvan dalam membangun
teorinya. Meski demikian, apa yang digagas Arvan tersebut, seperti saya
jelaskan di awal, memiliki fondasi kuat untuk tumbuh dan berkembang menjadi
sebuah pemikiran yang brilian. Bahkan, saya melihat bahwa pemikiran Arvan ini
bisa dikembangkan lebih jauh ke hal-hal yang aplikatif dan berguna bagi banyak
orang. Terlepas dari segala kelemahan yang ada, buku ini merupakan sebuah buku
yang menarik untuk dibaca bukan karena menjual mimpi, melainkan mengajak orang
untuk melihat secara mendalam melalui sebuah kajian teoritis yang dibangun
secara serius.


Perkembangan Individu
Tanggal: 10 Oktober 2008
http://www.psb-psma.org/content/blog/perkembangan-individu
oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
1. Apa perkembangan individu itu?
Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang sistematis, progresif dan berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya atau dapat diartikan pula sebagai perubahan – perubahan yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya.
2. Apa yang dimaksud dengan sistematis ?
Sistematis adalah bahwa perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara satu bagian dengan bagian lainnya, baik fisik maupun psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Contoh : kemampuan berbicara seseorang akan sejalan dengan kematangan dalam perkembangan intelektual atau kognitifnya. Kemampuan berjalan seseorang akan seiring dengan kesiapan otot-otot kaki. Begitu juga ketertarikan seorang remaja terhadap jenis kelamin lain akan seiring dengan kematangan organ-organ seksualnya.
3. Apa yang dimaksud dengan progresif ?
Progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif (fisik) mapun kualitatif (psikis). Contoh : perubahan proporsi dan ukuran fisik (dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar); perubahan pengetahuan dan keterampilan dari sederhana sampai kepada yang kompleks (mulai dari mengenal huruf sampai dengan kemampuan membaca buku).
4. Apa yang dimaksud dengan berkesinambungan ?
Berkesinambungan artinya bahwa perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan. Contoh : untuk dapat berdiri, seorang anak terlebih dahulu harus menguasai tahapan perkembangan sebelumnya yaitu kemampuan duduk dan merangkak.
5. Apa ciri-ciri perkembangan individu?
Perkembangan individu mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :
1. Terjadinya perubahan dalam aspek :
* Fisik; seperti : berat dan tinggi badan.
* Psikis; seperti : berbicara dan berfikir.
2. Terjadinya perubahan dalam proporsi.
* Fisik; seperti : proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase perkembangannya.
* Psikis; seperti : perubahan imajinasi dari fantasi ke realistis.
3. Lenyapnya tanda-tanda yang lama.
* Fisik; seperti: rambut-rambut halus dan gigi susu, kelenjar thymus dan kelenjar pineal.
* Psikis; seperti : lenyapnya masa mengoceh, perilaku impulsif.
4. Diperolehnya tanda-tanda baru.
* Fisik; seperti : pergantian gigi dan karakteristik sex pada usia remaja, seperti kumis dan jakun pada laki dan tumbuh payudara dan menstruasi pada wanita, tumbuh uban pada masa tua.
* Psikis; seperti berkembangnya rasa ingin tahu, terutama yang berkaitan dengan sex, ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral dan keyakinan beragama.
6. Apa prinsip-prinsip perkembangan inidividu?
Prinip- prinsip perkembangan individu, yaitu :
1. Perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti.
2. Semua aspek perkembangan saling berhubungan.
3. Perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan.
4. Setiap fase perkembangan mempunyai ciri khas.
5. Setiap individu normal akan mengalami tahapan perkembangan.
6. Perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu.
7. Bagaimana pola atau arah perkembangan inidividu?
Arah atau pola perkembangan sebagai berikut :
1. Cephalocaudal & proximal-distal (perkembangan manusia itu mulai dari kepala ke kaki dan dari tengah (jantung, paru dan sebagainya) ke samping (tangan).
2. Struktur mendahului fungsi.
3. Diferensiasi ke integrasi.
4. Dari konkret ke abstrak.
5. Dari egosentris ke perspektivisme.
6. Dari outer control ke inner control.
8. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan individu?
Dalam berbagai literatur kita dapati berbagai pendekatan dalam menentukan tahapan perkembangan individu, diantaranya adalah pendekatan didaktis. Dalam hal ini, Syamsu Yusuf (2003) mengemukakan tahapan perkembangan individu dengan menggunakan pendekatan didaktis, sebagai berikut :
Masa Usia Pra Sekolah
Masa Usia Pra Sekolah terbagi dua yaitu (1) Masa Vital dan (2) Masa Estetik
1. Masa Vital; pada masa ini individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya. Untuk masa belajar pada tahun pertama dalam kehidupan individu , Freud menyebutnya sebagai masa oral (mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan dan merupakan alat untuk melakukan eksplorasi dan belajar.Pada tahun kedua anak belajar berjalan sehingga anak belajar menguasai ruang, mulai dari yang paling dekat sampai dengan ruang yang jauh. Pada tahun kedua umunya terjadi pembiasaan terhadap kebersihan. Melalui latihan kebersihan, anak belajar mengendalikan impuls-impuls atau dorongan-dorongan yang datang dari dalam dirinya.
2. Masa Estetik; dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan. Anak bereksplorasi dan belajar melalui panca inderanya. Pada masa ini panca indera masih sangat peka.
Masa Usia Sekolah Dasar
Masa Usia Sekolah Dasar disebut juga masa intelektual, atau masa keserasian bersekolah pada umur 6-7 tahun anak dianggap sudah matang untuk memasuki sekolah. Masa Usia Sekolah Dasar terbagi dua, yaitu : (a) masa kelas-kelas rendah dan (b) masa kelas tinggi.
Ciri-ciri pada masa kelas-kelas rendah(6/7 – 9/10 tahun) :
1. Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi.
2. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional.
3. Adanya kecenderungan memuji diri sendiri.
4. Membandingkan dirinya dengan anak yang lain.
5. Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.
6. Pada masa ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
Ciri-ciri pada masa kelas-kelas tinggi (9/10-12/13 tahun) :
1. Minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret.
2. Amat realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar.
3. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran khusus sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus.
4. Sampai usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas usia ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya.
5. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat mengenai prestasi sekolahnya.
6. Gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama. Dalam permainan itu mereka tidak terikat lagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri.
Masa Usia Sekolah Menengah
Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja, yang terbagai ke dalam 3 bagian yaitu :
1. masa remaja awal; biasanya ditandai dengan sifat-sifat negatif, dalam jasmani dan mental, prestasi, serta sikap sosial,
2. masa remaja madya; pada masa ini mulai tumbuh dorongan untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya. Pada masa ini sebagai masa mencari sesuatu yang dipandang bernilai, pantas dijunjung dan dipuja.
3. masa remaja akhir; setelah remaja dapat menentukan pendirian hidupnya, pada dasarnya telah tercapai masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas perkembangan pada masa remaja, yang akan memberikan dasar bagi memasuki masa berikutnya yaitu masa dewasa.
Masa Usia Kemahasiswaan (18,00-25,00 tahun)
Masa ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal atau dewasa madya, yang intinya pada masa ini merupakan pemantapan pendirian hidup.
9. Apa tugas perkembangan individu itu?
Havighurst (1961) mengemukakan bahwa : “ A developmental task is a task which arises at or about a certain period in the life of the individual, succesful achievement of which leads to his happiness and to success with later task, while failure leads to unhappiness in the individual, disaproval by society, difficulty with later task.
10. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada masa bayi dan kanak-kanak awal (0,0–6.0) ?
Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa bayi dan kanak - kanak awal (0,0–6.0) adalah :
1. Belajar berjalan pada usia 9.0 – 15.0 bulan.
2. Belajar memakan makan padat.
3. Belajar berbicara.
4. Belajar buang air kecil dan buang air besar.
5. Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin.
6. Mencapai kestabilan jasmaniah fisiologis.
7. Membentuk konsep-konsep sederhana kenyataan sosial dan alam.
8. Belajar mengadakan hubungan emosional dengan orang tua, saudara, dan orang lain.
9. Belajar mengadakan hubungan baik dan buruk dan pengembangan kata hati.
11. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada masa kanak-kanak akhir dan anak sekolah (6,0-12.0)?
Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa kanak - kanak akhir dan anak sekolah (0,0–6.0) adalah :
1. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.
2. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis.
3. Belajar bergaul dengan teman sebaya.
4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.
5. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung.
6. Belajar mengembangkan konsep-konsep sehari-hari.
7. Mengembangkan kata hati.
8. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi.
9. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial.
12. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada masa remaja (12,0-21.0)?
Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa remaja (21,0–21.0) adalah :
1. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.
2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita.
3. Menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif.
4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
5. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi.
6. Memilih dan mempersiapkan karier.
7. Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.
8. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara.
9. Mencapai perilaku yang bertanggung jawab secara sosial.
10. Memperoleh seperangkat nilai sistem etika sebagai petunjuk/pembimbing dalam berperilaku.
13. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada Masa Dewasa Awal (21 – dst) ?
Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa dewasa awal (21,0–dst) adalah :
1. Memilih pasangan.
2. Belajar hidup dengan pasangan.
3. Memulai hidup dengan pasangan.
4. Memelihara anak.
5. Mengelola rumah tangga.
6. Memulai bekerja.
7. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara.
8. Menemukan suatu kelompok yang serasi.

Kritisisme di Jantung Demokrasi
Published by Anakjahat on 05/Feb/2007 (921 reads)
Sumber: Kompas

M Fadjroel Rachman

“Politics is the science of the good for man, to be happiness.”

(Aristoteles dalam Nicomachean Ethics)

Apakah yang membahagiakan manusia, seorang warga negara, di dalam republik demokratis? Tentu hidup yang berpedoman pada nilai-nilai utama: kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan, kerakyatan, kesejahteraan, dan solidaritas.

Nilai-nilai inilah sumber motivasi suatu republik dan individu yang menjadi warga negara karena dijamin hak-hak individual dan sosialnya berupa hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Prasyarat emansipasi individual dan sosial!


Apa musuh utamanya? Totaliterisme dan dogmatisme, termasuk totaliterisme pasar (neoliberalisme), juga fundamentalisme agama dan etnokultur. Semua jenis totaliterisme tersebut memusuhi dan meluluhlantakkan nilai-nilai dan hak-hak warga negara. Cara melawannya? Dengan kritisisme. Menciptakan budaya kritis dalam kehidupan individual-sosial: menanamkan kritisisme di jantung republik!

Kritisisme dan demokrasi

Karl Raimund Popper menunjukkan hubungan erat kritisisme dengan perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan kemanusiaan dalam metodologi pemecahan masalah (problem-solving methodology). Metodologi ini selalu dirumuskan dari problem empiris dan dapat disangkal secara empiris pula.

Skema sederhananya, P1-TS-EE-P2, di mana P1 = problem awal, TS = tentative solution (pemecahan sementara, teori yang diajucobakan), EE = error elimination (evaluasi kritis, kritik dengan observasi dan eksperimen), dengan tujuan menemukan dan membuang kesalahan, P2 = situasi baru yang diciptakan evaluasi kritis atau solusi tentatif terhadap problem awal. Evaluasi kritis, atau kritisisme menjadi kunci dari metodologi ini.

Kritik merupakan kekuatan motif utama untuk setiap perkembangan intelektual, ilmu pengetahuan, dan masyarakat. Tanpa kritik tak ada motif rasional untuk mengubah teori dan untuk mentransformasi masyarakat. Jadi, metode pertumbuhan pengetahuan adalah metode kritis atau kritisisme. Sebuah pendekatan yang mengakui bahwa segala praktik sosial kita (politik, ekonomi, ideologi, dan teoretis) selalu bersifat sementara (tentative), tak pernah absolut, dan dapat salah (fallible). Semua teori atau praktik sosial memiliki kemungkinan untuk gugur dalam ujian empiris yang keras.

Hampir serupa dengan Popper, Thomas Kuhn mengatakan revolusi saintifik dapat dijelaskan sebagai berikut: pre-scientific… Keretakan paradigma (paradigm rupture atau anomalies) merupakan momen aktivitas kritisisme antara teori dan praktik. Momen ini menumbuhkan peluang pencerahan baru untuk membangun teori alternatif dalam ilmu pengetahuan maupun praktik sosial, ekonomi, budaya, dan politik.

Dengan demikian, kritik bertujuan menemukan kesalahan kita, dan kita sadar sepenuhnya akan kemungkinan salah dari teori dan praktik. Karena itu, setiap saat kita harus bersedia mengkritik dan dikritik, menguji dan diuji secara empiris, dengan harapan akan menemukan kesalahan dan belajar dari kesalahan tersebut.

Inilah dasar demokrasi, ruang publik yang berpedoman pada nilai-nilai, dan dilindungi negara hak-hak individual dan sosial warga negaranya. Dogmatisme adalah musuh ilmu pengetahuan, sedangkan totaliterisme adalah musuh demokrasi, musuh republik!

Sikap kritis atau kritisisme identik dengan sikap ilmiah (scientific) yang membangun hukum ilmu pengetahuan bersifat sementara (tentative), dapat salah (fallible), sedangkan dogmatisme, absolutisme, fundamentalisme, dan totaliterisme bersifat ilmiah-semu (pseudo-scientific).

Gerakan politik nilai

Kritisisme dan pedoman nilai-nilai merupakan jantung setiap gerakan mahasiswa. Peristiwa Lima Agustus yang terjadi pada 1989 di ITB, misalnya, adalah: (1) gerakan menolak totaliterisme Orde Baru yang bertentangan dengan nilai-nilai: kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan, kerakyatan, kesejahteraan, dan solidaritas; (2) gerakan menolak dogmatisme melalui indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4); (3) gerakan merayakan kritisisme dalam kehidupan akademis, ilmu pengetahuan, dan publik; (4) gerakan membela dan memperjuangkan hak-hak individual dan sosial sebagai prasyarat demokrasi di Indonesia; dan (5) gerakan politik nilai yang konfrontatif untuk menggulingkan rezim fasis-militeristik Orde Baru dan Jenderal Besar (Purn) Soeharto.

Gerakan mahasiswa, baik yang berbentuk korektif maupun konfrontatif dapat dikategorikan sebagai gerakan politik nilai (values political movement), bukan gerakan politik kekuasaan (power political movement) seperti partai politik. Gerakan politik nilai (gerakan mahasiswa) berada dalam arena masyarakat sipil (civil society), sedangkan gerakan politik kekuasaan (partai politik) berada dalam arena masyarakat politik (political society).

Kenapa bersifat politik? Bila politik kita definisikan sebagai “aktivitas setiap individu, atau kelompok untuk mengubah kebijakan dan atau mengubah relasi sosial”, maka aktivitas korektif dan atau konfrontatif gerakan mahasiswa selalu bertujuan mengubah kebijakan maupun relasi sosial dalam masyarakat atau negara.

Pada gerakan mahasiswa seperti 1966, 1974 (Malari), 1978, 1989, dan 1998, terlihat aktivitas korektif dan atau konfrontatif gerakan mahasiswa, pada analisis akhir, semuanya berujung pada perubahan kepemimpinan nasional dan perubahan struktural (relasi sosial, ekonomi, dan politik). Gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai selalu menjangkarkan diri pada nilai- nilai “serupa” sebagai pedomannya, tetapi selalu melakukan interpretasi baru atau kontekstualisasi sesuai perubahan ilmu pengetahuan dan realitas sosial, baik dalam aras lokal, nasional, maupun global.

Kritisisme dalam ilmu pengetahuan dan masyarakat berarti kesediaan setiap individu untuk berani memakai akal budinya sendiri secara bebas, otonom dan mandiri. Melihat individu dan masyarakat dalam totalitas dialektis lengkap dengan sejarah kontradiksinya.

Prinsip ini sesuai dengan Immanuel Kant, yang merumuskan slogan Sapere Aude! (Dare to Think!) sebagai penanda Abad Pencerahan. Individu berfungsi optimum mewujudkan seluruh potensi kemanusiaannya bila bebas memakai akal budi, membuat pilihan rasional, dan bertanggung jawab terhadap pilihan. Bila sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kebebasan, maka di bahu setiap individu yang dijamin hak individual dan hak sosialnya, pertumbuhan demokrasi, ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan kebudayaan memperoleh mesin penggerak utamanya.

Bila gerakan mahasiswa adalah gerakan politik nilai (values political movement) yang bersandar pada kritisisme dan budaya kritis, maka demokrasi yang diperjuangkannya untuk mewujudkan emansipasi individual dan sosial, pada analisis akhir, adalah scientifico critical democracy, demokrasi kritis yang ilmiah. Adakah keduanya sudah terjalin baik saat ini?

M Fadjroel RacHman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)



KA Khavari
Kunci Pembuka Gerbang
Kebahagiaan to Personal Happiness
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=176422


Judul : The Art of Happiness
Judul Asli : A Practical Guide
Penulis : KA Khavari
Penerjemah : Agung Prihantoro
Pewajah Isi: Irawan Prasetiadi
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : Pertama, Oktober 2006
Isi : 19 Bab, 407 Halaman
Sabtu, 30 Juni 2007
Seiring perkembangan zaman, banyak aspek, terutama ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami kemajuan pesat. Namun fakta ini berbanding terbalik dengan ranah kejiwaan umat manusia, di mana banyak individu justru kian sulit menemukan kebahagiaan. Berangkat dari kenyataan ini, lewat The Art of Happiness, KA Khavari mencoba menggugat konsep-konsep kebahagiaan semu dan menyuguhkan tesis baru yang tajam tentang sifat manusia dan pencarian ketenangan ruhaniah yang tiada henti.
Sebagai ramuan psikologis dan spiritual tentang potensi manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup dengan latihan-latihan praktis serta kisah-kisah dan metafora-metafora, karya ini menjadi panduan yang berharga dan menggugah pikiran guna menggapai posisi happiness. Buku ini mengupas berbagai persoalan yang terkait dengan perkembangan dan kebahagiaan personal serta memaparkan ide-ide baru dan metode yang tepat untuk meraihnya.
Dalam buku yang dalam versi Inggris diterbitkan White Mountan Publications (2000) ini, Khavari memadukan aneka teori, hasil riset, dan sastra dari berbagai perspektif dan tradisi kultural untuk merangkai sebuah argumen yang kukuh dan menggugah perihal urgensi hidup sebagai makhluk yang cerdas secara spiritual. Dia menganjurkan keseimbangan antara perburuan materi dan pengembangan intelektual, emosional dan batiniah untuk meraih kebahagiaan dalam segala kondisi.
Beragam kisah, tamsil, metode tes dan pelatihan praktis yang disajikan merupakan langkah awal signifikan untuk melakoni hidup dengan kecerdasan spiritual.
Buku ini mendapat pujian dari sejumlah guru besar luar biasa psikiatri di beberapa perguruan tinggi ternama dunia, mulai dari Prof MD David Spiegel dari Universitas Stanford, June Medsen Clausen PhD dari Universitas San Fransisco, Amerika Serikat, sampai AM Ghaderian MD FRCP dari Universitas McGill, Kanada.
Buku ini mengajak siapa pun untuk menggali kekayaan spiritual dalam diri pribadi. Banyak alat praktis yang ditawarkan untuk pencerdasan spiritual seperti menguji kadar kemarahan, 69 cara mengelola stres, mengatur pola makan; resep menyikapi perasaan orang lain, pelatihan senyum, tertawa, validasi diri, membersihkan emosi; berpetualang di zona kesenangan; menyucikan pikiran, mengatasi perasaan-perasaan terluka; menaklukkan amarah dan mengurangi kecemasan.
Anda berjiwa tenang dan tak mudah terguncang? Selamat menyemarakkan kebagiaan lewat karya Dr KA Khavari ini. Atau, Anda justru mudah stres, cemas dan marah? Tak perlu ke mana-mana, periksakan kesehatan psikologis Anda melalui buku ini. Anda akan beroleh alasan waskita untuk senantiasa bahagia, dalam keadaan apa pun.
Banyak teori psikologi dan hasil penelitian mutakhir yang bisa dinikmati, tanpa mengernyitkan dahi. Selingan dongeng rakyat dan kearifan religius di buku ini juga niscaya membawa Anda dalam keasyikan membacanya.
Bahagia itu pilihan, begitu pula derita. Keduanya bersumber dari batin, bukan dari orang lain atau benda-benda di luar diri pribadi. Kekayaan, kekuasaan dan ketenaran bisa menjadi sumber kebahagiaan, namun juga bisa menjadi biang penderitaan. Musibah dan bencana bisa menumbuhkan kearifan, bisa pula melahirkan keputusasaan. Semua bergantung pada kedewasaan dan keuletan batin.
Kedewasaan psikologis-inti buku ini-membuat Anda peka terhadap nilai-nilai kewajaran. Anda pun sigap bereaksi terhadap segala tindakan tak pantas, apalagi yang tak beradab. Kebaikan juga bukan lagi tuntutan, melainkan kenikmatan. Ibadah agama bukan sekadar kewajiban, tetapi anugerah terindah dari Tuhan. Dan yang terpenting, kebahagiaan tak lagi bergantung pada keadaan, tetapi bagaimana mengubah situasi tersebut. Bersama buku praktis ini, Khavari hadir menemani Anda memungut makna di balik setiap peristiwa, menemukan kejenakaan bahkan dalam hal-hal yang mengerikan, menjawab segala tantangan dan peluang serta menikmati segenap hasil kerja yang Anda dapatkan. Dengan demikian, menurut buku ini, keceriaan saban hari bukan lagi mimpi. Selamat menikmati lintasan hidup bertabur pelangi kegembiraan dengan menciptakan surga di setiap detik kehidupan. Inilah buku yang menjadi salah satu kunci untuk membuka pintu gerbang kebahagiaan. (Yudhiarma)


Tinjauan Kasus SEFT vs STEREOTIPE NORMA TUNTUTAN PERAN
Salam psikologi klinis dari saya .marbusan.Saudara, beberapa teman yang saya ajari langkah-langkah SEFT mengeluhkan bahwa terapi yang mereka lakukan tidak menunjukkan hasil yang maksimal .Mereka mengeluhkan meskipun sudah dalam keadaan focus , tujuan yang ingin mereka raih dalam terapi tidak juga menunjukkan hasil positif .Akhirnya setelah mendalami kasus –kasus ini dengan seksama ,marbusan bisa menyimpulkan bahwa stereotype norma dalam kehidupanpun juga bisa mempengaruhi hasil psikoterapi .Berikut penjelasan lebih lanjut .

Saudara ,saya awali dengan kisah dari seorang dokter gigi senior (tentunya beliau orang yang well educated dan sering bepergian keluar negeri sehingga bisa melakukan perbandingan normative lingkungan dengan apa yang berlaku di Indonesia) yang mengeluh putranya yang berumur 9 tahun tidak bisa berkonsentrasi dengan pelajarannya Easily get distracted , begitu beliau mengatakan .

Lebih lanjut , sang putra selalu tertarik dengan hal-hal diluar pelajarannya dan berusaha mengamati dengan seksama sehingga melupakan pelajarannya tersebut. Contoh ,pada saat belajar matematika dan ia mendengar ada penjual bakso yang lewat depan rumah,maka ia segera menghentikan pelajarannya dan berlari keluar hanya untuk melihat penjual bakso tersebut ,apa warna gerobak baksonya ,dan hal detil lainnya yang sepintas tidak akan diperhatikan oleh orang lain

Pada saat sang ibu menghubungi penulis , si ibu menanyakan mengapa metode SEFT yang dilakukannya tidak mebawa hasil optimal untuk si buah hati . Setelah melewati wawancara psikologis secara singkat , penulis dapat menyimpulkan beberapa hal ,antara lain :



1. KETERBATASAN PENGERTIAN PROSES TUMBUH KEMBANG ANAK
Saudara ,seandainya sang ibu tahu bahwa pada usia 9 tahun si buah hati memasuki masa operasional konkrit (dari teori perkembangan Piaget) dengan ciri-cirinya yang khas yaitu perkembangan logika dan daya eksplorasi, maka tentunya si ibu akan justru bangga dengan kemampuan pengamatan dan eksplorasi si kecil,tinggal bagaimana si ibu memancing rasa tahu si kecil dan mengarahkannya serta tidak perlu mengkhawatirkannya .
Dengan penjelasan ini , tentunya semua metode psikoterapi ,apapun itu tidak diperlukan lagi karena sudah jelas bahwa sang putra dalam perkembangan yang normal sesuai dengan tahapan usianya .Untuk lebih jelasnya ,penulis akan membeberkan tahapan perkembangan pada usia 7-11 tahun yang menurut Jean Piaget sebut sebagai Masa Perkembangan Operasional Konkrit (Tahapan perkembangan secara lengkap dapat anda baca di www.wikipedia.org Bahasa Indonesia dengan kata kunci Jean Piaget) :
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
2. TANTANGAN STEREOTIPE TUNTUTAN PERAN dalam LINGKUNGAN

Saudara , masalah kedua yang di hadapi adalah stereotype peranan dalam lingkungan .Saudara,banyak sekali elemen dalam lingkungan perkembangan anak memberikan tuntutan peran yang harus diemban oleh anak justru kurang memperhatikan tahapan perkembangan baim fisik maupun mental anak.

Sebagai contoh , dalam dunia pendidikan dasar sampai menengah yang kita anut selama ini lebih bersifat pendidikan ceramah dan komunikasi satu arah .Sang anak diminta untuk duduk manis dan memperhatikan serta mencatat dan fatalnya,lebih dituntut untuk menghafal materi pelajaran yang diberikan oleh guru .

Kesempatan anak untuk mengemukakan pendapatnya , kesempatan untuk bereksplorasi atau kesempatan untuk mendapatkan pelajaran di luar ruang kelas (live education) rupanya belum menjadi opsi bagi dunia pendidikan kita .dapat ditebak,bahwa anak-anak kita berkembang kearah penghafal daripada penyaji makalah,dan secara psikologis anak akan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pendapatnya (karena memang jarang diasah dan diberi kesempatan )

Berbicara mengenai tinjauan kasus kita kali ini ,kemampuan anak yang mengembangkan daya eksplorasi minat terhadap dunia luar seolah-olah menjadi suatu hal yang aneh dan secara menyedihkan kemudian dianggap sebagi suatu kelainan .Jangankan menjadi “berbeda” (dalam konotasi positif) , menjadi seorang yang sesuai dengan tahapan perkembangannyapun, si anak harus berhadapan dengan stereotipe tuntutan peran ,dan dianggap sebagai suatu kelainan .Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ,apa yang mereka “boleh” lakukan ? apakah hanya rambu-rambu “seperti kebanyakan anak yang lain” yang bisa dan boleh anak-anak kita lakukan ?

Saudara , kelemahan dalam dunia psikologi di Indonesia adalah pemahaman dan aplikasinya yang masih belum popular dan belum dijadikan sebagai referensi menyikapi normal atau tidaknya perilaku dalam masyarakat ,sehingga kesalahpahaman akan cenderung memantik anggapan bahwa seseorang “tidak normal” bila melakukan hal berbeda dengan lingkungan sekitarnya .Kuatnya “social prejudice” rupanya masih tertancap kuat di masyarakat dan ditambah parah dengan budaya membaca dan belajar yang masih lemah.

Saudara ,banyak dikatakan bahwa untuk menjadi sukses kita harus bisa menerima suatu hal yang “berbeda”, untuk kemudian mempelajarinya .Tentu dengan filter normative masayarakat maupun normative religi.Di akhir tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa PSIKOTERAPI,apapun jenisnya hendaknya ditinjau kembali definisi dan tujuan pelaksanaannya.Pesan yang lain adalah hendaknya kita bersikap bijaksana dalam menghadapi sesuatu yang “berbeda” dengan apa yang kita yakini selama ini, karena siapa tahu sesuatu yang berbeda adalah kunci yang membawa pada suatu kebaikan di masa datang.

Ekonomi Pasar Sosial Terbuka
Oleh: Sulastomo
________________________________________
KETIKA buku An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, yang lebih dikenal sebagai The Wealth of Nations terbit, Adam Smith, yang bukan seorang ekonom, mungkin tidak menduga bahwa pemikirannya akan berpengaruh besar di kemudian hari.
Mungkin bukan suatu kebetulan bila buku itu muncul bersamaan dengan kemerdekaan Amerika Serikat ( 1776 ), yang lalu menjadi negara pelaksana utama teori Adam Smith. Sebab, Adam Smith pernah bertemu Benjamin Franklin (1706- 1790), seorang diplomat, pengarang, ilmuwan Amerika yang dikenal sebagai the first civilized American, yang ikut merumuskan Declaration of Independence.
Teori Adam Smith mengatakan, secara alami tiap manusia akan selalu memperoleh dorongan untuk dapat meningkatkan kehidupannya agar lebih baik bagi dirinya sendiri. Ini tidak berarti bila manusia lalu melupakan tugasnya sebagai (misalnya) penganut agama, dengan seperangkat tanggung jawab sosial yang harus dipenuhi, atau harus bersikap "patriotik", sebagai seorang nasionalis atau warga negara yang baik. Semakin besar manusia memperoleh kebebasan untuk mewujudkan kebahagiaannya, semakin cepat ia menemukan kebahagiaan itu.
Masyarakat yang sehat, menurut Adam Smith, adalah masyarakat yang memungkinkan warganya melakukan hal-hal yang baik bagi dirinya sendiri. Inilah dasar falsafah individualisme yang menjadi landasan prinsip demokrasi, ekonomi pasar, dan hak asasi manusia sebagaimana kita kenal sekarang.
Bandingkan dengan deklarasi kemerdekaan AS, yang terjadi bersamaan terbitnya buku itu, bahwa AS mendeklarasikan diri sebagai negara yang menghormati kemerdekaan dan kebebasan, dengan hak alami untuk dapat hidup, menikmati kemerdekaan dan memperoleh kebahagiaan (free and independent citizen, with a natural right to life, liberty and the pursuit of happiness). Kebetulankah kemiripan itu? Agaknya tidak.
AMERIKA Serikat dibangun oleh para imigran Eropa, yang melarikan diri untuk memperoleh "kemerdekaan". Teori Adam Smith, seorang Skotlandia, merupakan pemikiran "revolusioner" kala itu, menggantikan konsep lama, yang menempatkan gereja dan raja-raja memiliki hak "prerogatif" yang besar atas kehidupan masyarakat. Ada kesamaan latar belakang sejarah antara teori Adam Smith dan motivasi imigran Eropa yang lalu membentuk AS. Karena itu, lahirlah negara dan faham sekularisme, yang memisahkan agama (gereja) dan negara, baik di Eropa maupun di AS.
Meski pandangan seperti itu sudah dapat dianggap "revolusioner", pandangan itu masih termasuk "moderat". Bandingkan dengan teori yang dikembangkan Karl Marx, yang lalu menjadi motivasi timbulnya revolusi Bolshewijk di Rusia, yang melahirkan Negara Komunis di Rusia (1917) dan belahan dunia lainnya. Agama tidak hanya harus dipisahkan dari negara, tetapi juga harus dianggap sebagai "candu". Hak prerogatif gereja dan raja-raja lalu digantikan Partai Komunis. Individualisme, kemerdekaan, kebebasan pribadi direnggut atas nama "rakyat" dan lahirlah istilah "demokrasi rakyat" yang ternyata amat otoriter.
Bukan suatu kebetulan bila kedua pemikiran itu (Falsafah Individualisme dan Komunisme) menimbulkan "dikotomi" yang amat tajam pada masyarakat dunia. Selama lebih setengah abad, kedua faham itu telah menimbulkan perang dingin yang memisahkan dunia menjadi dua blok besar. Bila falsafah individualisme, dengan segenap perangkat ekonomi dan politiknya (baca kapitalisme, ekonomi pasar, dan demokrasi) lalu memenangkan pertarungan, sebabnya karena falsafah individualisme lebih memiliki sifat universal dan manusiawi dibandingkan dengan Komunisme. Apakah kita di Indonesia harus mengikuti prinsip-prinsip individualisme, kapitalisme, ekonomi pasar, dan demokrasi sebagaimana adanya yang dianut di negara-negara Barat?
EKONOMI pasar/kapitalisme dalam bentuknya kini berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Ciri utama adalah timbulnya kesenjangan antara kaya dan miskin, baik pada internal suatu negara maupun antarnegara. Pemain bola basket Michael Jordan berpenghasilan sampai 40 juta dollar AS/tahun. Namun, di saat yang sama, kita melihat orang-orang homeless yang hidup di emperan toko atau antrean panjang orang miskin untuk memperoleh makanan (food-stamp) di AS. Atau ada Bill Gates yang pendapatannya melampaui Michael Jordan, namun ada sekitar 40 juta rakyat AS yang tidak tercakup program asuransi kesehatan karena tidak mampu membayar iuran. Demikian juga bila kita lihat peta pendapatan bruto/GDP negara maju dan berkembang. Kesenjangan itu akan semakin melebar.
Dari negara dengan pendapatan per kapita puluhan ribu dollar AS sampai yang masih di bawah 1.000 dollar AS atau hanya beberapa ratus dollar AS, di bawah dua dollar/hari/kapita. Sampai pada suatu saat gambaran masyarakat dunia seperti kerucut, ada satu orang yang amat kaya, sementara sebagian besar penduduk dunia ada di bawah garis kemiskinan. Ketidakadilan ini tentu akan dapat berdampak instabilitas dunia. Kerucut itu terancam terbalik bila praktik ekonomi pasar kian eksploitatif.
Namun, ekonomi pasar merupakan fenomena kemanusiaan. Masyarakat tradisional pun memiliki "pasar". Di sana, dalam bentuk sederhana, ada "kompetisi" sebagaimana dalam ekonomi pasar modern yang kita kenal kini. Yang perlu dicegah adalah ekonomi pasar tidak boleh bersifat "eksploitatif", tidak sehat karena semangat individualisme berlebihan, yang cenderung hanya mementingkan diri sendiri, yang sebenarnya tidak sesuai dengan semangat yang dicanangkan Adam Smith di mana tanggung jawab sosial individual harus tetap melekat.
Untuk itu, perlu ada "rambu-rambu", upaya pencegahan sehingga ekonomi pasar tetap memiliki tanggung jawab sosial dan berwajah manusiawi. Tanpa "rambu-rambu" akan lahir ketimpangan sosial amat tajam yang pada gilirannya menjadi bumerang bagi kehidupan kemanusiaan. Di saat itulah akan berakhir kapitalisme. The end of capitalism, kata orang. Hal ini disebabkan karena "ketidakadilan" di dunia akan memicu pergolakan yang bisa menjungkirbalikkan sistem yang melahirkan ketidakadilan itu.
Untuk mencegah semua itu, antara lain terlihat dari (misalnya) terbitnya UU Antimonopoli. Namun, upaya seperti itu masih belum cukup tanpa diberi landasan filosofi, yang mengangkat kepentingan bersama, kepentingan masyarakat, sebagai manifestasi tanggung jawab sosial tiap manusia seiring kepentingan individual.
Selain itu, kini dunia kita telah berubah cepat. Perubahan itu bahkan kian cepat di masa depan. Perkembangan teknologi telah membuka sekat-sekat isolasi bangsa, masyarakat dan keluarga. Tidak terkecuali, bangsa Indonesia tidak mungkin menghindari kenyataan itu. Keterbukaan harus menjadi ciri masa depan bangsa, disertai kesiapan diri untuk membuka peluang perubahan. Hal ini tidak berarti tanpa seleksi terhadap sebuah nilai. Namun, nilai kemanusiaan yang beradab sebenarnya bersifat universal sehingga kita tidak perlu bersikap negatif terhadap suatu perubahan .
Di sinilah makna "sosial" dan "terbuka" dalam konsep ekonomi pasar sosial terbuka. Kita tidak bisa menghindar dari prinsip "ekonomi pasar". Kita tidak bisa menutup diri karena "keterbukaan" telah menjadi fenomena yang sulit dihindari. Negara yang melakukan isolasi diri, tertutup, sebagaimana dahulu antara lain dikenal sebagai negara komunis akan tertinggal dan terpaksa bersikap otoriter. Negara seperti ini ternyata tidak mampu untuk eksis.
DI dalam Manifes Perekonomian dan Kesejahteraan, Gerakan Jalan Lurus berusaha gambarkan bagaimana wujud Ekonomi Pasar Sosial Terbuka itu. Kita sadar, rakyat Indonesia berhak memperoleh perbaikan kesejahteraan lebih cepat sesuai Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Tujuan ini dapat diwujudkan melalui "pertumbuhan yang terbagi" (shared high growth). Semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi semakin membuka peluang pembagian kue yang kian besar. Namun, pertumbuhan itu harus terbagi sehingga tidak ada masyarakat yang tertinggal. Dalam konteks sekarang, perlu dilakukan dekonglomerasi meski harus dilakukan dengan "ramah pasar". Pertumbuhan dan keadilan, dengan demikian dapat berjalan seiring dalam kerangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk itu, ada empat pilar ekonomi pasar sosial terbuka yang perlu ditegakkan.
Pertama, persaingan domestik yang sesempurna mungkin, sebagai mekanisme utama mobilisasi dan alokasi modal manusia, modal fiskal dan modal keuangan yang terbatas.
Kedua, keterbukaan internasional, mendorong lalu lintas manusia, barang, jasa, modal, iptek, dan informasi yang harus dilakukan lewat praktik-praktik terbaik bernegara.
Ketiga, reinvensi negara sosial yang kuat, di mana negara berperan sebagai regulator yang baik, bersih dari KKN, mengutamakan pemupukan modal sosial, swastanisasi perusahaan negara secara selektif, khususnya yang bermotif komersial, dengan mempertimbangkan aspek politik, keamanan negara, dan hajat hidup orang banyak.
Keempat, proteksi sosial yang layak bagi rakyat, mewujudkan perdamaian sosial antara pengusaha dan buruh melalui pengembangan koperasi buruh. Terbangunnya manajemen perusahaan berdasar prinsip kekeluargaan serta implementasi sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keempat pilar itu hendaklah dilihat sebagai satu paket, tidak terpisah, sehingga mewujudkan cita-cita sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Dalam konteks kekinian, yang amat mendesak adalah membangun kemampuan/potensi domestik, baik kemampuan sumber daya manusia maupun sumber daya modal, antara lain melalui mobilisasi sumber-sumber itu secara besar-besaran. Pengembangan koperasi di kalangan perusahaan dan sistem jaminan sosial nasional dengan demikian akan menempati tempat amat strategis dalam meningkatkan kemampuan bangsa menghadapi persaingan internasional.
Pendekatan seperti ini akan mampu memupuk tabungan nasional yang besar sehingga meningkatkan kemampuan domestik bagi modal investasi, pembukaan lapangan kerja dan tingkat kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan ekonomi akan lebih baik, berkelanjutan, dan merata karena sebagian besar akan bergantung pada kemampuan potensi dalam negeri.
Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/26/opini/580430.htm

PengembanganDiri

sivalintar Teman Dekat Kala Gelisah


PengembanganDiri




Mengarahkan
Diri Sendiri
Mengarahkan diri sendiri (self direction) berarti kita bertindak dengan kebebasan tanpa dipengaruhi oleh apa saja yang sudah sejak lama tertanam dalam benak, sehingga ia merupakan penghalang. Dalam bertindak kita melangkah bebas dari apa yang didapatkan pada masa pertumbuhan, sehingga dapat melihat dunia seadanya dan bukan sebagaimana yang seharusnya seperti yang ditanamkan dalam masa kanak-kanak.

Pengarahan diri-sendiri bukan berarti lantas kita menolak semua nilai yang didapatkan pada masa pertumbuhan, melainkan untuk melihat, menilai, lalu menentukan sendiri apa yang terbaik untuk diri kita sendiri di masa kini.
Sebelas Penghambat

Sebelas pengaruh yang dapat menghambat, malahan menghancurkan potensi yang ada dalam diri kita untuk melangkah maju.
1. Kecenderungan untuk membebek, mengikuti pendapat orang lain, walaupun kita sebenarnya tidak menyetujuinya.
2. selalu saja merasa malu, merasa tidak enak, walaupun tidak melakukan kesalahan.
3. Jauh lebih penting bekerja untuk sekadar mencari makan dan kemudian mendapatkan kemudahan dari pada melakukan pekerjaan yang memang memberikan kepuasan batin.
4. Selalu memberi penjelasan pada orang lain tentang apa saja yang dikerjakan.
5. Mempunyai perasaan seakan-akan lebih banyak orang yang membenci dan tak menyukai.
6. Selalu ingin menolong, memberi jasa meskipun ia sebenarnya tidak mau (karena bantuan akan mengganggu dirinya).
7. Selalu cemas, apa yang akan dikatakan orang lain terhadap diri sendiri.
8. Apapun yang tejadi, selalu berusaha tetap pada waktunya, sehingga tujuan hidup yang utama adalah untuk menepati waktu.
9. Selalu merasa tidak enak untuk menanyakan sesuatu.
10. Merasa sulit untuk meminta pertolongan, dan jarang ada yang mau menolong.
11. Merasa malu kalau menanyakan kamar mandi (WC) -saat berada di rumah orang lain-sehingga selalu menderita menahan apabila ingin ke kamar kecil.
Apa yang baru disebutkan di atas tadi adalah beberapa contoh tentang gejala Rasa Rendah Diri. Tentu saja kita dapat mengubah cara berpikir serupa itu. Ini adalah apa yang tertanam jauh di bawah sadar sehingga merupakan penghalang, malahan amat merusak.
Banyak cara telah di kemukakan para ahli, bagaimana untuk menghilangkan semua yang merusak atau hal negatif dalam dirikita, akan tetapi yang paling utama adalah mengadakan perubahan itu pada saat ini juga. Mulailah meyakinkan diri sendiri, sebenarnyalah diri kita mempunyai potensi.



Topik Terkait :

Kiat—Pengembangan Diri

Inspirasi

Mengenali Tipe Kepribadian

Kenali dan Kelola Emosi Anda

Pengarahan diri-sendiri

PengembanganDiri

Mengarahkan diri sendiri (self direction) berarti kita bertindak dengan kebebasan tanpa dipengaruhi oleh apa saja yang sudah sejak lama tertanam dalam benak, sehingga ia merupakan penghalang. Dalam bertindak kita melangkah bebas dari apa yang didapatkan pada masa pertumbuhan, sehingga dapat melihat dunia seadanya dan bukan sebagaimana yang seharusnya seperti yang ditanamkan dalam masa kanak-kanak.

Pengarahan diri-sendiri bukan berarti lantas kita menolak semua nilai yang didapatkan pada masa pertumbuhan, melainkan untuk melihat, menilai, lalu menentukan sendiri apa yang terbaik untuk diri kita sendiri di masa kini.
Sebelas Penghambat

Sebelas pengaruh yang dapat menghambat, malahan menghancurkan potensi yang ada dalam diri kita untuk melangkah maju.
1. Kecenderungan untuk membebek, mengikuti pendapat orang lain, walaupun kita sebenarnya tidak menyetujuinya.
2. selalu saja merasa malu, merasa tidak enak, walaupun tidak melakukan kesalahan.
3. Jauh lebih penting bekerja untuk sekadar mencari makan dan kemudian mendapatkan kemudahan dari pada melakukan pekerjaan yang memang memberikan kepuasan batin.
4. Selalu memberi penjelasan pada orang lain tentang apa saja yang dikerjakan.
5. Mempunyai perasaan seakan-akan lebih banyak orang yang membenci dan tak menyukai.
6. Selalu ingin menolong, memberi jasa meskipun ia sebenarnya tidak mau (karena bantuan akan mengganggu dirinya).
7. Selalu cemas, apa yang akan dikatakan orang lain terhadap diri sendiri.
8. Apapun yang tejadi, selalu berusaha tetap pada waktunya, sehingga tujuan hidup yang utama adalah untuk menepati waktu.
9. Selalu merasa tidak enak untuk menanyakan sesuatu.
10. Merasa sulit untuk meminta pertolongan, dan jarang ada yang mau menolong.
11. Merasa malu kalau menanyakan kamar mandi (WC) -saat berada di rumah orang lain-sehingga selalu menderita menahan apabila ingin ke kamar kecil.
Apa yang baru disebutkan di atas tadi adalah beberapa contoh tentang gejala Rasa Rendah Diri. Tentu saja kita dapat mengubah cara berpikir serupa itu. Ini adalah apa yang tertanam jauh di bawah sadar sehingga merupakan penghalang, malahan amat merusak.
Banyak cara telah di kemukakan para ahli, bagaimana untuk menghilangkan semua yang merusak atau hal negatif dalam dirikita, akan tetapi yang paling utama adalah mengadakan perubahan itu pada saat ini juga. Mulailah meyakinkan diri sendiri, sebenarnyalah diri kita mempunyai potensi.


Beberapa Langkah
Pengembangan / Mengarahkan
Diri Sendiri


Anggapan Positif
Pada Diri Sendiri

Penting sekali untuk memiliki anggapan positif pada diri kita sendiri, tentu saja ini berdasarkan kenyataan dan bukan khayalan. Kita buat penilaian tentang diri sendiri, apakah kita ini pribadi yang positif atau negatif, janganlah menipu diri sendiri. Kemungkinan banyak yang harus kita perbaiki, banyak yang harus kita tingkatkan, banyak yang belum kita lakukan, sedangkan kita sebenarnya mempunyai kemampuan. Pemikiran yang negatif tentang kemampuan diri sendiri akan membatasi kita dalam berprestasi.

Berpikir Positif
Kita pun harus bertanggung jawab atas apa-apa yang sedang berlangsung dalam pemikiran. Dalam arti kata tanggap dalam melihat semua kemungkinan yang setiap saat dapat saja terjadi. Banyak orang yang tidak tanggap akan keadaan, apakah itu keadaan diri sendiri atau lingkungan tempat mereka berada. Sehingga mereka seringkali kehilangan kesempatan yang baik, apakah itu kesempatan untuk belajar atau mendapat pengalaman yang baru, malahan kesuksesan dalam materi.

Kita bukan hanya berpikir positif, tetapi terlebih bertindak positif. Tatkala kita mengatakan pada diri sendiri, "Saya adalah pribadi yang berpotensi --Saya adalah pribadi yang mempunyai kemampuan-- mungkin pada saat yang bersamaan lalu timbul pemikiran, aaah tapi bagaimana ya? Saya sudah seringkali gagal," maka pemikiran yang negatif serupa ini jelas adalah peninggalan masa pertumbuhan, karena sebagai anak kecil kita memang selalu mengalami berbagai benturan.

Panjang Akal
Yang dimaksud dengan panjang akal (resourcefulness), tentu saja bukan mereka yang licik dan mempunyai banyak akal tetapi akal busuk. Dalam hal ini panjang akal adalah keadaan diri kita yang selalu berusaha mencari jalan keluar dari kemelut yang dihadapi. Jadi dalam melakukan sesuatu kita pun siap dengan alternatif lain apabila memang perlu. Tentu saja kita tidak mengharapkan kegagalan, namun kita siap menghadapi keadaan yang paling buruk. Sehingga dalam kehidupan kita tidak melakukan hal-hal yang di luar batas kemampuan.



Orang yang panjang akal, dapat melihat setiap kesempatan untuk berkreasi, dalam arti kata bukan semua yang disebut kreativitas adalah hal-hal yang bertalian dengan pekerjaan tangan. Malahan seseorang yang kreatif ini dimulai dari sikap mereka yang tanggap, dapat melihat apa-apa yang tidak dilihat orang lain. Sebagai misal, siapa nyana air yang diambil dari sumber air lalu dimasukkan dalam botol dapat membuat seseorang menjadi jutawan? Apabila kita perhatikan orang-orang yang panjang akal, mereka tidak takut memulai sesuatu yang baru, mereka tidak pemalas untuk memulai lagi dari bawah.

Kita pun mampu menjadi orang yang panjang akal. Langkah pertama, belajarlah memecahkan masalah sendiri, janganlah selalu saja meminta pertolongan orang lain. Kebiasaan meminta pertolongan orang lain, membuat seseorang menjadi invalid dalam jiwa raga. Tentu saja manusia hidup untuk saling tolong-menolong, tetapi janganlah menjadi prinsip hidup untuk seterusnya mengandalkan diri dari pertolongan orang. Ini namanya mau hidup gampangan, sebagai parasit. Kebiasaan serupa ini mematikan seluruh sendi kehidupan.

Sebelum meminta pertolongan orang lain, cobalah sendiri terlebih dahulu. Carilah informasi, apakah masalah yang Anda hadapi pernah juga dialami orang lain? Apakah ada buku tentang masalah yang sedang Anda hadapi? Carilah beberapa kemungkinan untuk pemecahan masalah tersebut. Berpikirlah yang kreatif, carilah isian, mintalah pendapat dan nasehat, dan bukan meminta pertolongan.

Ketekunan
Tanpa ketekunan, rencana dan pandangan serta akal panjang yang ada pada kita semuanya tidak ada gunanya. Namun demikian, ketekunan bukan berati kita harus keras kepala. Karena apabila dilihat memang kita perlu mengubah setrategi, janganlah terus saja tekun....ini namanya bukan ketekunan, melainkan keras kepala.

Ketekunan ini harus dibarangi dengan keluwesan. Banyak dari kita yang akhirnya membuang-buang waktu dan tenaga dalam menekuni sesuatu yang berdasarkan melulu pada ketekunan yang sebenarnya sudah merupakan kekakuan. Apabila kita memang sudah mempunyai tujuan dan cita-cita yang bulat, yang dilandasi dengan pemikiran dan perhitungan yang memang masuk akal, maka jalankanlah dengan penuh keyakinan dan ketekunan.

Jadi ketekunan adalah perpaduan antara ketekunan keluwesan, bekerja keras....kemudian relaks menikmati hasil pekerjaan Anda....bukankah ini memberikan kebahagaiaan tersendiri. Kepuasan batin.